Rabu, 07 Mei 2014

Psikilogi

PEMAAF YANG MEMBEBASKAN
Aku yang berani menyusuri pengalaman terluka
(Oleh: RD. Samuel)*


Banyak orang mengalami sakit hati dan marah, akan tetapi tidak banyak dari mereka secara bebas memilih memaafkan mereka yang menjadi pemicu amarah atau sakit hati. Logis saja, memaafkan memang bukan perkara yang mudah dilakukan setelah orang yang memicu sakit hati datang dan memohonnya. Dalam perilaku memaafkan ada hal lain yang jauh lebih dalam digumuli, daripada sekedar relasi antara yang terluka dan pelaku. Meskipun demikian, setelah melewati situasi yang rumit itu, akhirnya kita menemukan insight bahwa memaafkan, sesungguhnya mudah, bahkan bisa dilakukan tanpa menghadirkan pelaku atau pemicu sakit hati. Di sini pula tertemukan letak perbedaan antara pemaafan (forgiveness) dan perdamaian (reconsiliation) yang selama ini sering dicampuraduk dalam hidup bersama. Pemaafan memang akan menjadi lebih baik, jika dilanjutkan dengan rekonsiliasi; namun demi kepentingan “mereka yang terluka”, tanpa kehadiran pelaku pun pemaafan tetap dapat dilakukan. Maka..., pertanyaannya adalah “mengapa kita sering menyimpan atau mempertahan marah atau sakit hati dalam hidup kita, kalau kita sendiri bisa melepaskannya?”
Sesungguhnya kalau kita membicarakan topik pemaafan, berarti juga kita mengeksplorasi dan mengelola sakit hati, karena pemaafan adalah bagian integral dari rekonstruksi dan reduksi sakit hati. Orang yang tidak memaafkan orang lain, pada umumnya ialah mereka yang masih memendam sakit hati, dengan menguatnya motif-motif untuk menghindar atau menyerang. Dengan demikian, esensi pemaafan (interpersonal), tidak lain adalah menurunnya intensitas motif menghindar atau menyerang dalam relasi dengan orang lain, sehubungan dengan pengalaman buruk yang membuat luka (McCullough, Pargament, dan Thoresen, 2001). Dalam hal ini, pemaafan lebih mungkin terjadi, ketika sakit hati kita perlahan-lahan mulai tereduksi.
Sakit hati dan asal muasalnya
Sakit hati yang kita diskusikan ini merupakan bagian dari perasaan marah yang tersimpan dalam kurun waktu yang lama, bahkan mungkin seumur hidup dan bisa muncul setiap kali kita berpikir tentang peristiwa atau melihat orang yang menyebabkan sakit hati (Ekman, 2007/2010). Situasi ini, biasanya muncul setelah kita merasa terluka dan dikecewakan sampai berada dalam tingkat kesedihan tertentu. Perasaan dari orang yang sakit hati, umumnya meliputi kesedihan, ketakutan, hilangnya harga diri, sehingga mendorongnya untuk melakukan tindakan balas dendam dan melampiaskan sakit hati terhadap pihak tertentu yang memicu terjadinya luka. Perasaan demikian, sesungguhnya merupakan suatu reaksi dari proses alamiah yang terjadi, akibat kegagalan seseorang mendapatkan cinta, pujian, penerimaan, keadilan, dan segala hal sejenis yang dialami dalam hidup sehari-hari di rumah, sekolah, komunitas, atau tempat kerja. Kondisi ini sering menimbulkan dampak yang buruk bagi mereka yang sedang sakit hati atau marah, baik dalam dimensi fisik, mental, spiritual, maupun relasional. Orang kemudian mengalami situasi hidup penuh tekanan dan berada dalam suasana permusuhan terhadap pihak tertentu. Suasana seperti ini lantas makin memicu sakit hati yang kuat dan depresif, yang membuat hidup demikian jauh dari perasaan bahagia (Worthington, 2005).
Pengalaman sakit hati yang terjadi ini tidak sekedar merusak relasi, di antara pelaku dengan korban, tetapi juga berpotensi menghancurkan keutuhan diri, baik fisik maupun psikis. Ekspresi psikologis dari sakit hati biasanya terungkap dalam perilaku defensif untuk melindungi diri terhadap ancaman atau sebaliknya perilaku agresif untuk mengancam dan mencelakai pihak lain (Pinel, 2009). Ketika sakit hati tersebut tidak terungkap, maka akan tersimpan dalam ketidaksadaran, dan secara refleks timbul dalam aneka penyimpangan yang sulit dikenali. Simptom-simptom cemas, gelisah, pusing-pusing, atau gangguan fisik lain, merupakan bagian dari indikasi tendensi stres dan sakit hati yang tersembunyi (Meninger, 1996/1999).
Meskipun belum mendapatkan bukti yang sangat meyakinkan, namun banyak penelitian memberikan kesimpulan bahwa emosi-emosi negatif dari pengalaman stres memiliki korelasi yang cukup kuat dengan sistem kekebalan tubuh dan kerentanan terhadap penyakit infeksi. Emosi-emosi negatif yang dimiliki sering menimbulkan perubahan yang meluas pada tubuh melalui sistem korteks adrenal pituitaria-anterior dan sistem medulla-adrenal simpatik. Hal ini terjadi dalam mekanisme-mekanisme yang tak terhitung jumlahnya, terkait dengan aneka stresor yang dihadapi (Pinel, 2009). Dengan kata lain, melalui kerja sistem saraf simpatik, emosi negatif dari pengalaman distres berpengaruh buruk terhadap kondisi fisik seseorang. Hal ini antara lain terjadi oleh karena adanya hubungan timbal balik antara tubuh dengan entitas-entitas penyebab emosi kita (Damasio, 1994/2009). Dampak buruk sakit hati yang terpendam dalam kondisi fisik juga terungkap pada penelitian terhadap mahasiswa-mahasiswi kedokteran di Universitas Duke. Hasil penelitian ini antara lain menyimpulkan bahwa mereka yang memiliki skor rasa sakit hati yang tinggi, umumnya meninggal dalam usia lebih muda, yakni sekitar 50 tahun (Linn, Linn, dan Linn, 1997/2002). Hal ini berarti bahwa sakit hati yang terus terpendam dalam diri kita, lebih mudah merusak relasi di antara sesama, kesehatan fisik dan mental, serta banyak dimensi yang berhubungan dengan aktivitas hidup kita ketimbang orang yang mampu menghadapi dan mengelola sakit hatinya secara kreatif.
Apabila pengalaman sakit hati terhadap orang yang menyebabkan penderitaan atau luka itu dipahami dalam konteks pengalaman buruk yang membuat trauma, maka permasalahan tersebut dapat diuraikan melalui dinamika berikut: ketika kita menghadapi konflik atau peristiwa tragis dan mengguncang atau pengalaman catastrophic yang disebabkan oleh orang lain (pelaku), maka akan timbul luka yang menyakitkan dalam diri kita sebagai korban. Pengalaman terluka dan sakit tersebut diproses di otak (bagian amigdala) dan menimbulkan ekspresi sakit hati seperti perasaan kecewa, malu, tegang, takut, putus asa, tak berdaya, benci, menghindar, serta mempersepsikan diri sebagai orang yang tidak berguna (Linn, dkk., 1997/2002). Ekspresi-ekspresi ini biasanya bermuara pada pemikiran, perasaan, perilaku, dan motivasi kita yang negatif (McCullough, Hoyt, dan Rachal, 2001).
Keadaan sakit hati atau tidak memaafkan (unforgiveness) orang lain yang terwujud dari pikiran, perasaan, perilaku, dan motivasi negatif ini dapat tertekan secara ke dalam maupun terungkap kepada orang lain, dalam bentuk penghindaran atau penyerangan, serta mengharapkan sesuatu yang buruk terjadi pada orang yang menyebabkan luka (Worthington dan Wade, 1999). Selain itu, akan tampak juga dalam sikap kita yang dingin, tingkah laku menutup diri, membenci, dan menghindar dari pihak yang memicu luka dan sakit hati. Individu yang sakit hati sering menganggap bahwa penyebab luka adalah pihak yang mengganggu dan berbahaya, maka mutlak dihindari (Meninger, 1996/1999). Dinamika sakit hati atau tidak memaafkan ini dapat digambarkan sebagai berikut:
 




                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              



Orang yang sakit hati atau tidak memaafkan, umumnya tidak dapat menghayati hidup sebagai pribadi yang utuh dan bebas, karena terkungkung dalam kognisi, afeksi, perilaku, dan motivasi negatif. Apabila kognisi, afeksi, perilaku, dan motivasi negatif semakin tereduksi, maka individu sudah memiliki keterarahan kepada pemaafan. Dengan kata lain, dapat dirumuskan bahwa sakit hati pada individu identik dengan tidak memaafkan (unforgiveness) orang lain. Worthington (2005) menegaskan hal ini dalam kesimpulan penelitiannya, bahwa memaafkan berarti meredakan afeksi, perilaku, kognisi, dan motivasi dari sakit hati.
Pemaafan sebagai alternatif mengurangi sakit hati
Ada beberapa mekanisme dasar yang digunakan individu dalam menghadapi sakit hati. Mekanisme-mekanisme tersebut antara lain: pertama, penyangkalan dengan menutupi segala pikiran, perasaan, perilaku, dan motivasi negatif yang dimiliki; kedua, ekspresi agresi yakni dengan melawan secara pasif maupun aktif terhadap penyebab luka atau sakit; ketiga, pemaafan yaitu dengan mengelola sakit hati secara positif melalui tahap-tahap pereduksian afeksi, kognisi, perilaku, dan motivasi negatif. Sebagai salah satu alternatif individu menghadapi sakit hati, pemaafan memungkinkan seseorang dapat hidup dengan utuh dan sehat. Proses ini bekerja langsung pada perasaan sakit hati dan berhubungan dengan situasi dendam, permusuhan atau kebencian dengan mengurangi intensitas atau tekanannya, baik dalam otak maupun dalam hati. Proses ini teraplikasi secara teratur melalui pengalaman hidup yang tidak menyenangkan atau trauma dengan pihak tertentu dan perlahan-lahan menghapus sakit hati menuju kondisi hidup yang lebih baik (Fitzgibbons dalam Enright dan North, 1998).
Harris dan Thoresen (dalam Worthington, 2005), melalui hasil penelitiannya, menegaskan bahwa orang yang hidup dalam sakit hati, sering rentan mengalami gangguan kesehatan baik fisik maupun emosi yang tergolong kronik. Sebaliknya, Themosok dan Wald (dalam Worthington, 2005), mengungkapkan dari penelitiannya, bahwa pemaafan turut membantu secara signifikan, agar tercapai kualitas hidup yang makin baik dari penderita HIV/AIDS. Sebagai salah satu intervensi psikologis, pemaafan menjadi suatu pilihan terapeutik yang dapat memulihkan berbagai konflik, baik secara pribadi maupun dalam kelompok atau komunitas. Dapat dikatakan bahwa intervensi psikologis pemaafan memiliki dampak yang positif, tidak hanya pada aspek hidup psikologis, melainkan juga aspek biologis dan sosiologis. Terapi pemaafan bahkan dapat juga dilakukan sebagai strategi antisipasi terhadap munculnya gangguan sekaligus proses pemulihan emosi, pikiran, perilaku, dan motivasi yang terganggu. Pengalaman memaafkan dan merasa dimaafkan membuat individu bertumbuh dan berkembang dalam hidup, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Menurut Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary dalam Walton (2005), pemaafan (forgiveness) dapat didefinisikan sebagai tindakan independen antarpribadi, dalam menghentikan perasaan dendam terhadap penyebab luka, dan pasrah pada tuntutan akan ganjaran yang diberikan kepada mereka yang bersalah. Hal ini berarti bahwa pemaafan harus dihayati sebagai pilihan bebas individu, dalam menghadapi masa lalu yang buruk. Pilihan ini didasarkan pada keyakinan akan hukum keadilan dan situasi lingkungan yang dihadapi, ketika kesalahan atau peristiwa buruk terjadi di dalam hidupnya (Borris, 2003).
Sejalan dengan pemikiran di atas, Farrow dan Woodruff (dalam Worthington, 2005) mendeskripsikan bahwa pemaafan adalah perasaan belas kasih dan kemurahan yang mendukung seseorang berbelarasa dengan penyebab luka atau sakit. Secara neurologis, pemaafan berhubungan dengan persepsi dan interaksi individu terhadap lingkungan dan orang lain, pertimbangan moral, empati untuk memahami perilaku orang berdasarkan situasi, perasaan, dan motif tindakan, yang bergantung pada kapasitas status mental individu, dalam menilai dan menjelaskan perilaku pihak lain. Kualitas-kualitas individu demikianlah yang menggerakkan individu untuk bermurah hati dan berbelarasa dengan pelaku kesalahan. Meninger (1996/1999) memahami pemaafan sebagai sebuah ketetapan hati yang menyatakan bahwa tidak ada gunanya untuk terus bersembunyi, menderita, membenci, dan dendam. Dalam pemaafan, individu menyadari bahwa dalam hal tertentu, pemaafan mungkin tidak mutlak berhubungan dengan penyebab luka dan penderitaan. Meskipun demikian, pemaafan tetap dapat dilakukan dalam konteks penghayatan kemerdekaan sejati. Melalui pemaafan, individu dapat menghentikan dan membebaskan diri dari jerat masa lalu yang buruk serta menempuh cara hidup yang dapat membuatnya lebih maju, berkembang ke masa kini dan masa yang akan datang.
Gagasan demikian pun diungkapkan oleh Borris (2003) dalam tulisannya, The Healing Power of Forgiveness. Baginya, pemaafan dapat dipahami sebagai peredaan emosi yang mendalam pada diri dan memulihkan segala kualitas diri di dalamnya. Dengan demikian, pemaafan tidak mutlak berhubungan dan ditentukan oleh harapan atau keadaan pelaku kesalahan dan harapan orang lain. Pemaafan merupakan pilihan otonom seseorang untuk memperbaiki emosi negatif serta kualitas diri yang terganggu, sehingga dapat menjadi lebih bahagia (Maltby, Day, dan Barber, 2005). Ringkasnya, Shelby (2000) mendefinisikan bahwa pemaafan merupakan bentuk terakhir dari cinta. Rumusan ini muncul dari refleksi bahwa dalam pemaafan, individu membuka diri untuk mempercayai orang lain tanpa syarat dan membangun hubungan yang lebih baik. Melalui pemaafan, seseorang berpartisipasi menciptakan masa depan yang lebih baik, ikut bertumbuh bersama, sambil tetap menyadari adanya kemungkinan pengalaman sakit dan terlukai lagi. Hal ini berarti bahwa tidak ada lagi keinginan individu untuk menyangkal atau mengingkari pengalaman buruk atau sakit yang terjadi. Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemaafan adalah suatu keputusan untuk mengurangi segala pikiran, perasaan, motivasi, dan sikap negatif terhadap pihak tertentu akibat pengalaman buruk yang dialami, dan sebaliknya menumbuhkan pikiran, perasaan, sikap, dan motivasi positif, yang mengarah kepada pertumbuhan dan perkembangan diri. Keputusan ini senantiasa didasarkan pada kemampuan individu untuk mempertimbangkan dan memahami status permasalahan yang dihadapi secara holistik.
Terapi pemaafan membantu individu untuk menerima dan menghadirkan kembali pengalaman luka dan penderitaan, menemukan penanggung jawab sesungguhnya atas pengalaman tersebut, mengidentifikasi korban dalam peristiwa yang dialami, mengekspresikan perasaan sakit hati yang positif, serta masuk ke dalam keutuhan diri, setelah menerima kembali diri sendiri maupun orang lain secara bertanggung jawab (Meninger, 1996/1999). Melalui terapi ini, individu dibantu untuk menurunkan atau meredakan gejala-gejala ketegangan psikologis serta membangkitkan rasa empati yang mendalam, untuk menerima dan memaafkan pelaku yang menyebabkan luka atau penderitaan (Wade, Worthtington, dan Meyer dalam Worthington, 2005). Dengan kata lain, individu akan memulai suatu konstruksi psikologis yang mengarah pada pelepasan pengalaman sakit hati di satu sisi, serta perbaharuan relasi dan pemulihan emosi di sisi lain.
REACH: Memaafkan ala Worthington
Menurut Worthington (1998), ada lima tahap dalam pemaafan. Kelima tahap itu secara berurutan sebagai berikut; mengalami kembali sakit, berempati dengan pelaku, bertindak altruistik, berkomitmen memaafkan, dan konsistensi komitmen pemaafan. Tahap mengalami kembali sakit mengarahkan kita untuk menerima dan mengakui pengalaman sakit, ketika dia terluka, diserang secara tidak adil, atau ditolak, kemudian berusaha menghadirkan kembali dan mengalaminya secara riel. Tahap berempati dengan pelaku mengajak kita untuk berspekulasi tentang latar belakang, kondisi, dan pikiran pelaku terkait luka, menemukan pengalaman-pengalaman baik dengan pelaku, dan membayangkan sedang berinteraksi dengan pelaku pada waktu yang menyenangkan. Tahap bertindak altruistik menuntun kita untuk menyadari bahwa siapa pun berpeluang melakukan kesalahan, bergantung pada kondisi dan latar belakang seseorang. Oleh karena itu, tidak menjadi hambatan bagi kita untuk melakukan tindakan-tindakan yang bersifat altruistik. Tahap berkomitmen memaafkan mendorong kita untuk membangun niat memaafkan dengan memvisualisasikan sikap dan perilaku yang positif. Tahap mempertahankan komitmen pemaafan, memotivasi dan meneguhkan kita untuk memiliki konsistensi dalam mengusahakan pemaafan lewat tindakan konkret yang telah direncanakan. Lima tahap ini sering dikenal dengan akronim REACH (Recall the hurt, Empathize with the one who hurt you, Altruistic gift of forgiveness, Commitment to forgive, and Hold onto the forgiveness).
Dengan demikian, dinamika pemaafan dapat dirumuskan sebagai berikut: Peristiwa-peristiwa buruk (termasuk konflikdan pengalaman katastropik) yang dialami biasa menimbulkan luka yang mendalam. Luka dan sakit akan diterima, disimpan, dipersepsi dan diekspresikan kembali, dalam sikap tertentu melalui nukleus lateral amigdala. Hal ini dimungkinkan karena manusia memiliki sirkuit-sirkuit neuron yang mampu menghasilkan reprensentasi saraf serta imaji-imaji yang berpengaruh pada setiap perilaku yang unik sejalan dengan keunikan kasus yang dialami. Pengalaman buruk tersebut sering muncul kembali dan dipahami sebagai peristiwa pelecehan dan ancaman yang membahayakan, sehingga harus dihindari atau dilawan dengan cara tertentu.
Worthington (1998) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya luka dan sakit dalam hidup, antara lain: derajat perasaan sakit dan terluka, perhatian yang mendalam terhadap pengalaman terluka, objektivitas atau subjektivitas pengalaman terluka, jumlah pengalaman terluka, serta tingkat penerimaan pengalaman terluka. Pengalaman terluka yang ada menimbulkan pikiran, perasaan, perilaku, dan motivasi yang negatif dalam diri, yang terungkap dalam pengalaman sakit hati, yang dapat bersifat pasif-defensif maupun aktif-agresif. Kita biasanya merespon pengalaman sakit hati dengan cara yang unik, misalnya lebih aktif bercerita dan mudah meluapkan kemarahannya dengan ungkapan-ungkapan kasar, cenderung tertutup dan kurang berani mengekspresikan perasaannya karena pertimbangan norma-norma moral, atau juga cenderung tertutup karena merasa masalah yang dialami terlalu sederhana dan sepele.
Semakin dalam pengalaman terluka, akan semakin negatif pikiran, perasaan, perilaku, dan motivasi seseorang dengan sakit hati yang kuat dan tidak memaafkan (unforgiveness). Kita terkadang muncul keinginan untuk membalas dendam dengan perilaku yang sama, bahkan lebih menyakitkan lagi karena sering mengalami sakit hati yang berulang dari pelaku. Pengalaman sakit hati ini selanjutnya diproses dalam tahap-tahap pemaafan, yakni mengalami rasa sakit, berempati dengan pelaku, bertindak altruistik, berkomitmen memaafkan, dan mempertahankan komitmen dalam memaafkan. Melalui tahap-tahap ini, kita memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi pengalaman-pengalaman luka dan sakit hati yang selama ini tertutup dengan rapi. Kita yang mengalami luka atau sakit hati dapat difasilitasi untuk memandang dan merefleksikan pengalamannya dari sisi yang berbeda, dengan dasar empati terhadap pelaku, lalu memutuskan untuk melakukan hal-hal penting dan berarti, tidak hanya bagi diri sendiri, melainkan juga bagi orang lain, termasuk pelaku atau pemicu sakit hati. Proses pemaafan diharapkan akan dimulai dengan keberanian berempati terhadap pelaku dan kemauan untuk melakukan serta mempertahankan hal baik bagi orang lain, khususnya penyabab sakit hati. Berdasarkan pemaparan di atas, maka pola kerja pemaafan yang dapat kita proses baik secara pribadi maupun bersama adalah seperti berikut ini. Idealnya, memang dapat dilakukan dengan bantuan terapist (psikolog atau konselor), tetapi untuk pengembangan diri, sesungguhnya kita dapat melakukannya sendiri atau dalam kelompok kecil, sebagai berikut:
















Mengalami kembali sakit sebagai pintu
Secara interpersonal, memaafkan merupakan bentuk pilihan untuk membebaskan seseorang dari keinginan membalas dendam, mengecap secara negatif, serta bertindak sebaliknya terhadap orang yang melukai secara tidak adil, dengan menunjukkan sikap belas kasih, kemurahan, dan cinta. Pernyataan ini menunjukkan bahwa pemaafan selalu berhubungan dengan situasi ketika kita diserang dan terlukai secara tidak adil, tetapi kemudian dengan bebas memilih memaafkannya tanpa syarat. Sikap baru demikian menyangkut afeksi yang mengatasi niat balas dendam diganti dengan belas kasih, kognisi yang mengatasi penghakiman diganti dengan penghargaan, serta perilaku dan motivasi dari tendensi-tendensi negatif diganti dengan kehendak yang baik. Di atas segala kondisi yang ada, sebagai pilihan bebas, pemaafan memperoleh landasan yang kuat dari belas kasih dan kemurahan yang mendalam (Enright, dkk., 1998).
Meskipun demikian, pemaafan sesungguhnya tidak sesederhana menerima atau menoleransi ketidakadilan, melupakan kesalahan, atau menghentikan sakit hati terhadap pelaku kesalahan, sehingga mudah mendatanginya dan berdamai lagi. Sekalipun secara interpersonal ada keterarahan kepada orang tertentu, namun pengolahan proses pemaafan selalu berfokus pada permasalahan yang telah melukai dan menimbulkan sakit hati. Dalam konteks inilah tuntutan untuk kembali kepada persoalan dan mengalami peristiwa sakit merupakan hal yang mutlak; karena dengan menerima dan mengalami lagi rasa sakit, seseorang akan mudah berempati terhadap orang lain. Ini merupakan tahap tersulit dalam proses pemaafan, sebagaimana yang dikatakan oleh Meninger (1996/1999) berikut ini,
“Kadang-kadang, tahap ini disebut juga tahap penolakan. Menerima rasa sakit adalah hal yang berat. Menipu diri atau melupakan, rupanya jauh lebih mudah. Tidak ada orang yang ingin benar-benar menerima sesuatu yang menyakitkan.”
Setiap orang yang tidak memaafkan orang lain, sesungguhnya memiliki pengalaman pergumulan sakit hati yang mirip satu dengan yang lain, meskipun mereka mengungkapkannya dengan alasan yang unik atau berbeda. Mereka biasanya berekspresi dingin dengan pengalamannya, merasa tertekan, berusaha menghindar, melakukan pembalasan, dan akhirnya menunjukkan sikap ketidakberdayaan serta berharap mendapatkan pertolongan. Individu selanjutnya dapat berjuang untuk mereduksi perasaan takut, hingga merasa menjadi biasa dengan perasaan tersebut dan tidak lagi menjadi suatu ancaman, dengan menghadirkan dan mengalami kembali rasa sakit (Worthington, 1998). Dalam situasi terapi kelompok, hal ini sebetulnya sangat menolong untuk bersama-sama menemukan relevansi dan insight atas kasus individual yang dialami.
Worthington (1998) menegaskan lagi secara singkat, bahwa memasuki pengalaman sakit dan terluka merupakan awal proses pemaafan. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa melalui ekspresi dan pengungkapan emosi dari pengalaman buruk, kita diajak untuk mengakui dan mengalami kembali pengalaman terluka yang tersembunyi, untuk selanjutnya membuka diri dan memaafkan pelaku. Dengan menerima dan merasakan kembali sakit dari pengalaman terluka, kita dapat dengan mudah membangun empati, bersikap altruistik, menegaskan komitmen, hingga akhirnya mampu mempertahankan konsistensi komitmen untuk memaafkan pelaku. Dengan menerima rasa sakit, kita tidak hanya menyetujui dan mengakui pengalaman tersebut sebagai milik kita, melainkan juga dapat melihat secara lebih dekat dan nyata perihal orang yang melukai, pengaruh luka tersebut dalam hidup kita, serta kerinduan kita akan keutuhan dan kebahagiaan hidup.
Konsistensi komitmen sebagai perjuangan tanpa akhir
Sebagai proses, pemaafan sesungguhnya adalah suatu gerak maju menuju tujuan terakhir yakni memaafkan orang tertentu yang pernah melukai (Meninger, 1996/1999). Pernyataan ini memiliki makna bahwa memaafkan orang tertentu merupakan dasar dan alasan yang menggerakkan kita, untuk memulai perjalanan kita dengan memasuki pengalaman sakit, berempati, bertindak altruistik, hingga membangun komitmen. Pemaafan ibarat perjalanan menuju puncak, yang sasaran akhirnya yakni memaafkan orang yang telah menimbulkan rasa sakit hati, siapapun dia. Figur riel inilah yang menjadi alasan bagi kita, untuk bergerak tahap demi tahap sampai tahap tertinggi yakni konsistensi komitmen pemaafan. Dalam tahap ini, kita diharapkan tetap setia pada komitmennya untuk memaafkan pelaku, yang dapat diungkapkan dan ditegaskan dalam pernyataan pribadi.
Ketika berada pada tahap mempertahankan konsistensi komitmen pemaafan, kita sesungguhnya telah mencapai puncak. Meskipun demikian, tidak serta-merta kita merasa diri sudah mampu secara utuh dan menyeluruh memaafkan pelaku. Pemaafan sebagai terapi telah berakhir dan berpuncak pada tahap mempertahankan konsistensi komitmen pemaafan. Walaupun demikian, tugas untuk mempertahankan konsistensi komitmen ini merupakan usaha sepanjang hidup kita, hingga akhirnya menjadi utuh dengan tidak lagi terganggu ketika berhadapan dengan peristiwa, pelaku, dan hal-hal yang berhubungan dengan pelaku yang melukai. Dengan kata lain, ketika berada pada tahap puncak, kita semakin menyadari bahwa hidup yang utuh dan bahagia, tidaklah sepenuhnya ditentukan oleh kesalahan-kesalahan atau pengalaman buruk di masa lampau (Meninger, 1996/1999). Pada tahap terakhir ini, kita berada pada puncak kebebasan, ketika kita memilih melaksanakan perilaku-perilaku baru dan positif, untuk mewujudkan hal yang menjadi komitmen kita yakni memaafkan pelaku yang telah membuat kita terluka atau sakit hati.
Mary Baure (dalam Ransley dan Spy, 2005) dalam penelitiannya terhadap beberapa responden yang diwawancarai, terungkap bahwa dari proses terapi pemaafan yang dilaksanakan, mereka yang sakit hati tidak hanya berhenti dengan menyelesaikan trauma dan melepas pengalaman sakit, melainkan juga belajar untuk mentransformasi proses kognisi, afeksi, perilaku, dan motivasi negatif ke dalam karya-karya kreatif, untuk menolong banyak orang. Ketika membiarkan pengalaman buruknya berlalu, mereka menjadi lebih kreatif dan terus berjuang mempertahankannya sepanjang hidup mereka. Melalui proses pemaafan, seseorang mengubah kesedihan dan penyesalan, cara hidup yang negatif (represif ataupun agresif), serta mengubah hati untuk memandang pelaku dan segala hal yang berhubungan dengannya dalam terang baru (Griswold, 2007). Dari pemaknaan baru atas pengalaman buruk tersebut lahirlah beberapa tindakan altruistik sebagai kreativitas kita untuk mendukung komitmennya memaafkan pelaku.
Enright dan Fitzgibbons (dalam Ransley dan Spy, 2005) menyebut fase ini dengan pendalaman (deepening), ketika klien atau kita telah menemukan makna baru dari pengalaman terluka, sehingga termotivasi secara kuat untuk merealisasikan tujuan-tujuan baru atas dorongan pengalaman buruk tersebut. Konsistensi dari perealisasian tujuan-tujuan baru tersebut menjadikan pemaafan tidak sekedar budaya yang dilatih dan dibiasakan, melainkan lebih daripada itu, menjadi suatu keutamaan yang dipilih secara bebas, karena menyadari harapan untuk mengalami hidup yang lebih utuh dan bahagia, atas dasar kemurahan dan cinta. Setiap kali kita berjuang untuk mempertahankan komitmen kita untuk memaafkan, pada saat yang sama kita sadari juga bahwa kita telah memilih hidup yang bisa lebih nyaman dan membahagiakan.
Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa dari kelima tahap terapi pemaafan, betapa penting bahwa seseorang perlu membuka diri dan memiliki keberanian untuk menerima pengalaman terluka dan sakit. Penerimaan pengalaman ini merupakan pintu masuk untuk memproses dan mengelola pengalaman buruk, dalam cara pandang baru demi tumbuhnya empati, sikap altruistik, dan komitmen untuk memaafkan. Akhir tahap pemaafan itu merupakan suatu perjalanan untuk terus memelihara dan mempertahankan empati, sikap altruistik, dan komitmen pemaafan melalui pikiran, perasaan, perilaku, dan motivasi positif dari hari ke hari.
Dalam kondisi demikian sesungguhnya kita tidak sekedar membebaskan orang lain dari rasa bersalah dan konflik, tetapi juga membebaskan diri kita dari rantai penderitaan yang memenjarakan kita dengan pikiran, perasaan, perilaku dan motivvasi negatif. Sebaliknya, dalam pikiran, perasaan, perilaku dan motivasi positif kita menjadi lebih kreatif dan bebas untuk menafsirkan peristiwa apapun yang kita hadapi dan memutuskan perilaku yang benar dan membahagiakan untuk diri sendiri dan orang lain yang dengannya lebih memungkinkan kita merasa bahagia dan penuh makna dalam menjalani hidup.

*RD. Samuel adalah Imam Diosesan Pangkalpinang. Dia adalah seorang psikolog (S2 Psikologi) dari UniKa Soegiopranata, Semarang. Materi ini dibawakan oleh beliau waktu pertemuan para imam Kevikepan Babel di Puri Sadhana, St. Damian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar