PEMAAF YANG
MEMBEBASKAN
Aku yang berani
menyusuri pengalaman terluka
(Oleh:
RD. Samuel)*
Banyak orang mengalami sakit hati dan
marah, akan tetapi tidak banyak dari mereka secara bebas memilih memaafkan
mereka yang menjadi pemicu amarah atau
sakit hati. Logis saja, memaafkan memang bukan perkara yang mudah dilakukan
setelah orang yang memicu sakit hati datang dan memohonnya. Dalam perilaku
memaafkan ada hal lain yang jauh lebih dalam digumuli, daripada sekedar relasi
antara yang terluka dan pelaku. Meskipun demikian, setelah melewati situasi
yang rumit itu, akhirnya kita menemukan insight bahwa memaafkan, sesungguhnya
mudah, bahkan bisa dilakukan tanpa menghadirkan pelaku atau pemicu sakit hati.
Di sini pula tertemukan letak perbedaan antara pemaafan (forgiveness) dan perdamaian (reconsiliation)
yang selama ini sering dicampuraduk dalam hidup bersama. Pemaafan memang akan
menjadi lebih baik, jika dilanjutkan dengan rekonsiliasi; namun demi
kepentingan “mereka yang terluka”, tanpa kehadiran pelaku pun pemaafan tetap
dapat dilakukan. Maka..., pertanyaannya adalah “mengapa kita sering menyimpan
atau mempertahan marah atau sakit hati dalam hidup kita, kalau kita sendiri
bisa melepaskannya?”
Sesungguhnya kalau kita membicarakan
topik pemaafan,
berarti juga kita mengeksplorasi
dan mengelola sakit hati, karena pemaafan adalah bagian integral dari
rekonstruksi dan reduksi sakit hati. Orang yang tidak memaafkan orang lain,
pada umumnya ialah mereka yang masih memendam sakit hati, dengan menguatnya
motif-motif untuk menghindar atau menyerang. Dengan demikian, esensi pemaafan (interpersonal),
tidak lain adalah menurunnya intensitas motif menghindar atau menyerang dalam
relasi dengan orang lain, sehubungan dengan pengalaman buruk yang membuat luka
(McCullough, Pargament, dan Thoresen, 2001). Dalam hal ini,
pemaafan lebih mungkin terjadi, ketika sakit hati kita perlahan-lahan mulai
tereduksi.
Sakit hati dan asal
muasalnya
Sakit
hati yang kita diskusikan
ini merupakan bagian dari perasaan marah yang tersimpan dalam kurun
waktu yang lama, bahkan mungkin seumur hidup dan bisa muncul setiap kali kita berpikir
tentang peristiwa atau melihat orang yang menyebabkan sakit hati (Ekman,
2007/2010). Situasi ini, biasanya muncul setelah kita merasa terluka dan dikecewakan sampai berada dalam
tingkat kesedihan tertentu. Perasaan dari orang
yang sakit hati, umumnya meliputi kesedihan, ketakutan, hilangnya harga
diri, sehingga mendorongnya untuk melakukan tindakan balas dendam dan
melampiaskan sakit hati terhadap pihak tertentu yang memicu terjadinya luka. Perasaan
demikian, sesungguhnya merupakan suatu reaksi dari proses alamiah yang terjadi,
akibat kegagalan seseorang mendapatkan cinta, pujian, penerimaan, keadilan, dan
segala hal sejenis yang dialami dalam hidup sehari-hari di rumah, sekolah,
komunitas, atau tempat kerja. Kondisi ini sering menimbulkan dampak yang buruk
bagi mereka yang sedang
sakit hati atau marah, baik dalam dimensi fisik, mental, spiritual, maupun
relasional. Orang kemudian
mengalami situasi hidup
penuh tekanan dan berada dalam suasana permusuhan terhadap pihak
tertentu. Suasana seperti ini lantas makin
memicu sakit hati yang kuat dan depresif, yang membuat hidup demikian jauh dari
perasaan bahagia (Worthington, 2005).
Pengalaman
sakit hati yang terjadi
ini tidak sekedar merusak relasi, di antara pelaku dengan
korban, tetapi juga berpotensi menghancurkan keutuhan diri, baik fisik maupun
psikis. Ekspresi psikologis dari sakit hati biasanya terungkap dalam perilaku
defensif untuk melindungi diri terhadap ancaman atau sebaliknya perilaku agresif
untuk mengancam dan mencelakai pihak lain (Pinel, 2009). Ketika sakit hati
tersebut tidak terungkap, maka akan tersimpan dalam ketidaksadaran, dan secara
refleks timbul dalam aneka penyimpangan yang sulit dikenali. Simptom-simptom
cemas, gelisah, pusing-pusing, atau gangguan fisik lain, merupakan bagian dari
indikasi tendensi stres dan sakit hati yang tersembunyi (Meninger, 1996/1999).
Meskipun
belum mendapatkan bukti yang sangat meyakinkan, namun banyak penelitian
memberikan kesimpulan bahwa emosi-emosi negatif dari pengalaman stres memiliki
korelasi yang cukup kuat dengan sistem kekebalan tubuh dan kerentanan terhadap
penyakit infeksi. Emosi-emosi negatif yang dimiliki sering menimbulkan
perubahan yang meluas pada tubuh melalui sistem korteks adrenal pituitaria-anterior dan sistem medulla-adrenal simpatik. Hal ini terjadi dalam mekanisme-mekanisme
yang tak terhitung jumlahnya, terkait dengan aneka stresor yang dihadapi
(Pinel, 2009). Dengan kata lain, melalui kerja sistem saraf simpatik, emosi
negatif dari pengalaman distres berpengaruh buruk terhadap kondisi fisik
seseorang. Hal ini antara lain terjadi oleh karena adanya hubungan timbal balik
antara tubuh dengan entitas-entitas penyebab emosi kita (Damasio,
1994/2009). Dampak
buruk sakit hati yang terpendam dalam kondisi fisik juga terungkap pada
penelitian terhadap mahasiswa-mahasiswi kedokteran di Universitas Duke. Hasil
penelitian ini antara lain menyimpulkan bahwa mereka yang memiliki skor rasa
sakit hati yang tinggi, umumnya meninggal dalam usia lebih muda, yakni sekitar
50 tahun (Linn, Linn, dan Linn, 1997/2002). Hal ini berarti bahwa sakit hati
yang terus terpendam
dalam diri kita, lebih mudah merusak relasi di antara sesama,
kesehatan fisik dan mental, serta banyak
dimensi yang berhubungan dengan aktivitas hidup kita ketimbang orang yang mampu
menghadapi dan mengelola sakit hatinya secara kreatif.
Apabila
pengalaman sakit hati terhadap orang yang menyebabkan penderitaan atau luka itu
dipahami dalam konteks pengalaman buruk yang membuat trauma, maka permasalahan
tersebut dapat diuraikan melalui dinamika berikut: ketika kita menghadapi konflik atau peristiwa
tragis dan mengguncang atau pengalaman catastrophic
yang disebabkan oleh orang lain (pelaku), maka akan timbul luka yang
menyakitkan dalam diri
kita sebagai korban. Pengalaman terluka dan sakit tersebut diproses
di otak (bagian amigdala) dan
menimbulkan ekspresi sakit hati seperti perasaan kecewa, malu, tegang, takut,
putus asa, tak berdaya, benci, menghindar, serta mempersepsikan diri sebagai
orang yang tidak berguna (Linn, dkk., 1997/2002). Ekspresi-ekspresi ini
biasanya bermuara pada pemikiran, perasaan, perilaku, dan motivasi kita yang negatif
(McCullough, Hoyt, dan Rachal, 2001).
Keadaan sakit hati atau
tidak memaafkan (unforgiveness) orang
lain yang terwujud dari pikiran, perasaan, perilaku, dan motivasi negatif ini
dapat tertekan secara ke dalam maupun terungkap kepada orang lain, dalam bentuk
penghindaran atau penyerangan, serta mengharapkan sesuatu yang buruk terjadi
pada orang yang menyebabkan luka (Worthington dan Wade, 1999). Selain itu, akan
tampak juga dalam sikap
kita yang dingin, tingkah laku menutup diri, membenci, dan
menghindar dari pihak yang memicu luka dan sakit hati. Individu yang sakit hati
sering menganggap bahwa penyebab luka adalah pihak yang mengganggu dan
berbahaya, maka mutlak dihindari (Meninger, 1996/1999). Dinamika sakit hati
atau tidak memaafkan ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Orang yang sakit
hati atau tidak memaafkan, umumnya tidak dapat menghayati hidup sebagai pribadi
yang utuh dan bebas, karena terkungkung dalam kognisi, afeksi, perilaku, dan
motivasi negatif. Apabila kognisi, afeksi, perilaku, dan motivasi negatif
semakin tereduksi, maka individu sudah memiliki keterarahan kepada pemaafan.
Dengan kata lain, dapat dirumuskan bahwa sakit hati pada individu identik
dengan tidak memaafkan (unforgiveness)
orang lain. Worthington (2005) menegaskan hal ini dalam kesimpulan
penelitiannya, bahwa memaafkan berarti meredakan afeksi, perilaku, kognisi, dan
motivasi dari sakit hati.
Pemaafan sebagai
alternatif mengurangi sakit hati
Ada
beberapa mekanisme dasar yang digunakan individu dalam menghadapi sakit hati.
Mekanisme-mekanisme tersebut antara lain: pertama, penyangkalan dengan menutupi
segala pikiran, perasaan, perilaku, dan motivasi negatif yang dimiliki; kedua,
ekspresi agresi yakni dengan melawan secara pasif maupun aktif terhadap penyebab
luka atau sakit; ketiga, pemaafan yaitu dengan mengelola sakit hati secara
positif melalui tahap-tahap pereduksian afeksi, kognisi, perilaku, dan motivasi
negatif. Sebagai
salah satu alternatif individu menghadapi sakit hati, pemaafan memungkinkan
seseorang dapat hidup dengan utuh dan sehat. Proses ini bekerja langsung pada
perasaan sakit hati dan berhubungan dengan situasi dendam, permusuhan atau
kebencian dengan mengurangi intensitas atau tekanannya, baik dalam otak maupun
dalam hati. Proses ini teraplikasi secara teratur melalui pengalaman hidup yang
tidak menyenangkan atau trauma dengan pihak tertentu dan perlahan-lahan
menghapus sakit hati menuju kondisi hidup yang lebih baik (Fitzgibbons dalam
Enright dan North, 1998).
Harris
dan Thoresen (dalam Worthington, 2005), melalui hasil penelitiannya, menegaskan
bahwa orang yang hidup dalam sakit hati, sering rentan mengalami gangguan
kesehatan baik fisik maupun emosi yang tergolong kronik. Sebaliknya, Themosok
dan Wald (dalam Worthington, 2005), mengungkapkan dari penelitiannya, bahwa
pemaafan turut membantu secara signifikan, agar tercapai kualitas hidup yang
makin baik dari penderita HIV/AIDS. Sebagai salah satu intervensi psikologis,
pemaafan menjadi suatu pilihan terapeutik yang dapat memulihkan berbagai
konflik, baik secara pribadi maupun dalam kelompok atau komunitas. Dapat dikatakan
bahwa intervensi psikologis pemaafan memiliki dampak yang positif, tidak hanya
pada aspek hidup psikologis, melainkan juga aspek biologis dan sosiologis.
Terapi pemaafan bahkan dapat juga dilakukan sebagai strategi antisipasi
terhadap munculnya gangguan sekaligus proses pemulihan emosi, pikiran,
perilaku, dan motivasi yang terganggu. Pengalaman memaafkan dan merasa
dimaafkan membuat individu bertumbuh dan berkembang dalam hidup, baik secara
kualitas maupun kuantitas.
Menurut
Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary
dalam Walton (2005), pemaafan (forgiveness)
dapat didefinisikan sebagai tindakan independen antarpribadi, dalam
menghentikan perasaan dendam terhadap penyebab luka, dan pasrah pada tuntutan
akan ganjaran yang diberikan kepada mereka yang bersalah. Hal ini berarti bahwa
pemaafan harus dihayati sebagai pilihan bebas individu, dalam menghadapi masa
lalu yang buruk. Pilihan ini didasarkan pada keyakinan akan hukum keadilan dan
situasi lingkungan yang dihadapi, ketika kesalahan atau peristiwa buruk terjadi
di dalam hidupnya (Borris, 2003).
Sejalan
dengan pemikiran di atas, Farrow dan Woodruff (dalam Worthington, 2005)
mendeskripsikan bahwa pemaafan adalah perasaan belas kasih dan kemurahan yang
mendukung seseorang berbelarasa dengan penyebab luka atau sakit. Secara
neurologis, pemaafan berhubungan dengan persepsi dan interaksi individu
terhadap lingkungan dan orang lain, pertimbangan moral, empati untuk memahami
perilaku orang berdasarkan situasi, perasaan, dan motif tindakan, yang bergantung
pada kapasitas status mental individu, dalam menilai dan menjelaskan perilaku
pihak lain. Kualitas-kualitas individu demikianlah yang menggerakkan individu
untuk bermurah hati dan berbelarasa dengan pelaku kesalahan. Meninger (1996/1999)
memahami pemaafan sebagai sebuah ketetapan hati yang menyatakan bahwa tidak ada
gunanya untuk terus bersembunyi, menderita, membenci, dan dendam. Dalam
pemaafan, individu menyadari bahwa dalam hal tertentu, pemaafan mungkin tidak
mutlak berhubungan dengan penyebab luka dan penderitaan. Meskipun demikian,
pemaafan tetap dapat dilakukan dalam konteks penghayatan kemerdekaan sejati.
Melalui pemaafan, individu dapat menghentikan dan membebaskan diri dari jerat
masa lalu yang buruk serta menempuh cara hidup yang dapat membuatnya lebih
maju, berkembang ke masa kini dan masa yang akan datang.
Gagasan
demikian pun diungkapkan oleh Borris (2003) dalam tulisannya, The Healing Power of Forgiveness. Baginya,
pemaafan dapat dipahami sebagai peredaan emosi yang mendalam pada diri dan
memulihkan segala kualitas diri di dalamnya. Dengan demikian, pemaafan tidak
mutlak berhubungan dan ditentukan oleh harapan atau keadaan pelaku kesalahan dan
harapan orang lain. Pemaafan merupakan pilihan otonom seseorang untuk
memperbaiki emosi negatif serta kualitas diri yang terganggu, sehingga dapat menjadi
lebih bahagia (Maltby, Day, dan Barber, 2005). Ringkasnya,
Shelby (2000) mendefinisikan bahwa pemaafan merupakan bentuk terakhir dari
cinta. Rumusan ini muncul dari refleksi bahwa dalam pemaafan, individu membuka
diri untuk mempercayai orang lain tanpa syarat dan membangun hubungan yang
lebih baik. Melalui pemaafan, seseorang berpartisipasi menciptakan masa depan
yang lebih baik, ikut bertumbuh bersama, sambil tetap menyadari adanya
kemungkinan pengalaman sakit dan terlukai lagi. Hal ini berarti bahwa tidak ada
lagi keinginan individu untuk menyangkal atau mengingkari pengalaman buruk atau
sakit yang terjadi.
Berdasarkan definisi tersebut,
dapat disimpulkan bahwa pemaafan adalah suatu keputusan untuk mengurangi segala
pikiran, perasaan, motivasi, dan sikap negatif terhadap pihak tertentu akibat
pengalaman buruk yang dialami, dan sebaliknya menumbuhkan pikiran, perasaan,
sikap, dan motivasi positif, yang mengarah kepada pertumbuhan dan perkembangan
diri. Keputusan ini senantiasa didasarkan pada kemampuan individu untuk
mempertimbangkan dan memahami status permasalahan yang dihadapi secara
holistik.
Terapi
pemaafan membantu individu untuk menerima dan menghadirkan kembali pengalaman
luka dan penderitaan, menemukan penanggung jawab sesungguhnya atas pengalaman
tersebut, mengidentifikasi korban dalam peristiwa yang dialami, mengekspresikan
perasaan sakit hati yang positif, serta masuk ke dalam keutuhan diri, setelah
menerima kembali diri sendiri maupun orang lain secara bertanggung jawab
(Meninger, 1996/1999). Melalui terapi ini, individu dibantu untuk menurunkan
atau meredakan gejala-gejala ketegangan psikologis serta membangkitkan rasa
empati yang mendalam, untuk menerima dan memaafkan pelaku yang menyebabkan luka
atau penderitaan (Wade, Worthtington, dan Meyer dalam Worthington, 2005).
Dengan kata lain, individu akan memulai suatu konstruksi psikologis yang
mengarah pada pelepasan pengalaman sakit hati di satu sisi, serta perbaharuan
relasi dan pemulihan emosi di sisi lain.
REACH:
Memaafkan ala Worthington
Menurut
Worthington (1998), ada lima tahap dalam pemaafan. Kelima tahap itu secara
berurutan sebagai berikut; mengalami kembali sakit, berempati dengan pelaku,
bertindak altruistik, berkomitmen memaafkan, dan konsistensi komitmen pemaafan.
Tahap mengalami kembali sakit
mengarahkan kita untuk menerima dan mengakui pengalaman sakit, ketika dia
terluka, diserang secara tidak adil, atau ditolak, kemudian berusaha
menghadirkan kembali dan mengalaminya secara riel. Tahap berempati dengan pelaku mengajak kita untuk berspekulasi tentang
latar belakang, kondisi, dan pikiran pelaku terkait luka, menemukan
pengalaman-pengalaman baik dengan pelaku, dan membayangkan sedang berinteraksi
dengan pelaku pada waktu yang menyenangkan. Tahap bertindak altruistik menuntun kita untuk menyadari bahwa siapa pun
berpeluang melakukan kesalahan, bergantung pada kondisi dan latar belakang
seseorang. Oleh karena itu, tidak menjadi hambatan bagi kita untuk melakukan
tindakan-tindakan yang bersifat altruistik. Tahap berkomitmen memaafkan mendorong kita untuk membangun niat memaafkan
dengan memvisualisasikan sikap dan perilaku yang positif. Tahap mempertahankan komitmen pemaafan, memotivasi
dan meneguhkan kita untuk memiliki konsistensi dalam mengusahakan pemaafan
lewat tindakan konkret yang telah direncanakan. Lima tahap ini sering dikenal
dengan akronim REACH (Recall the hurt,
Empathize with the one who hurt you, Altruistic gift of forgiveness, Commitment
to forgive, and Hold onto the forgiveness).
Dengan demikian, dinamika
pemaafan dapat dirumuskan
sebagai berikut: Peristiwa-peristiwa buruk (termasuk konflikdan pengalaman
katastropik) yang dialami biasa menimbulkan luka yang mendalam. Luka dan sakit
akan diterima, disimpan, dipersepsi dan diekspresikan kembali, dalam sikap
tertentu melalui nukleus lateral amigdala.
Hal ini dimungkinkan karena manusia memiliki sirkuit-sirkuit neuron yang mampu
menghasilkan reprensentasi saraf serta imaji-imaji yang berpengaruh pada setiap
perilaku yang unik
sejalan dengan keunikan kasus yang dialami. Pengalaman
buruk tersebut sering muncul kembali dan dipahami sebagai peristiwa pelecehan
dan ancaman yang membahayakan, sehingga harus dihindari atau dilawan dengan
cara tertentu.
Worthington
(1998) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya luka dan
sakit dalam hidup, antara lain: derajat perasaan sakit dan terluka, perhatian
yang mendalam terhadap pengalaman terluka, objektivitas atau subjektivitas
pengalaman terluka, jumlah pengalaman terluka, serta tingkat penerimaan
pengalaman terluka. Pengalaman terluka yang ada menimbulkan pikiran, perasaan,
perilaku, dan motivasi yang negatif dalam diri, yang terungkap dalam pengalaman
sakit hati, yang dapat bersifat pasif-defensif maupun aktif-agresif. Kita biasanya merespon
pengalaman sakit hati dengan cara yang unik, misalnya lebih aktif bercerita dan mudah
meluapkan kemarahannya dengan ungkapan-ungkapan kasar, cenderung
tertutup dan kurang berani mengekspresikan perasaannya karena pertimbangan
norma-norma moral, atau juga
cenderung tertutup karena merasa masalah yang dialami terlalu sederhana dan sepele.
Semakin
dalam pengalaman terluka, akan semakin negatif pikiran, perasaan, perilaku, dan
motivasi seseorang dengan sakit hati yang kuat dan tidak memaafkan (unforgiveness). Kita terkadang muncul
keinginan untuk membalas dendam dengan perilaku yang sama, bahkan lebih
menyakitkan lagi karena sering mengalami sakit hati yang berulang dari pelaku. Pengalaman
sakit hati ini selanjutnya diproses dalam tahap-tahap pemaafan, yakni mengalami
rasa sakit, berempati dengan pelaku, bertindak altruistik, berkomitmen
memaafkan, dan mempertahankan komitmen dalam memaafkan. Melalui tahap-tahap
ini, kita memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi pengalaman-pengalaman luka
dan sakit hati yang selama ini tertutup dengan rapi. Kita yang mengalami luka
atau sakit hati dapat difasilitasi
untuk memandang dan merefleksikan pengalamannya dari sisi yang berbeda, dengan
dasar empati terhadap pelaku, lalu memutuskan untuk melakukan hal-hal penting
dan berarti, tidak hanya bagi diri sendiri, melainkan juga bagi orang lain,
termasuk pelaku atau pemicu sakit hati. Proses pemaafan diharapkan akan dimulai
dengan keberanian berempati terhadap pelaku dan kemauan untuk melakukan serta mempertahankan
hal baik bagi orang lain, khususnya penyabab sakit hati. Berdasarkan
pemaparan di atas, maka pola
kerja pemaafan yang dapat kita proses baik secara pribadi maupun bersama adalah
seperti berikut ini. Idealnya, memang dapat dilakukan dengan bantuan terapist
(psikolog atau konselor), tetapi untuk pengembangan diri, sesungguhnya kita
dapat melakukannya sendiri atau dalam kelompok kecil, sebagai
berikut:
Mengalami kembali sakit
sebagai pintu
Secara
interpersonal, memaafkan merupakan bentuk pilihan untuk membebaskan seseorang
dari keinginan membalas dendam, mengecap secara negatif, serta bertindak sebaliknya
terhadap orang yang melukai secara tidak adil, dengan menunjukkan sikap belas
kasih, kemurahan, dan cinta. Pernyataan ini menunjukkan bahwa pemaafan selalu berhubungan
dengan situasi ketika kita
diserang dan terlukai secara tidak adil, tetapi kemudian dengan bebas
memilih memaafkannya tanpa syarat. Sikap baru demikian menyangkut afeksi yang mengatasi niat balas dendam
diganti dengan belas kasih, kognisi yang mengatasi penghakiman diganti dengan
penghargaan, serta perilaku dan motivasi dari tendensi-tendensi negatif diganti
dengan kehendak yang baik. Di atas segala kondisi yang ada, sebagai pilihan
bebas, pemaafan memperoleh landasan yang kuat dari belas kasih dan kemurahan
yang mendalam (Enright, dkk.,
1998).
Meskipun demikian, pemaafan
sesungguhnya tidak sesederhana menerima atau menoleransi ketidakadilan,
melupakan kesalahan, atau menghentikan sakit hati terhadap pelaku kesalahan,
sehingga mudah mendatanginya dan berdamai lagi. Sekalipun secara interpersonal
ada keterarahan kepada orang tertentu, namun pengolahan proses pemaafan selalu berfokus
pada permasalahan yang telah melukai dan menimbulkan sakit hati. Dalam konteks
inilah tuntutan untuk kembali kepada persoalan dan mengalami peristiwa sakit
merupakan hal yang mutlak; karena dengan menerima dan mengalami lagi rasa
sakit, seseorang akan mudah berempati terhadap orang lain. Ini merupakan tahap
tersulit dalam proses pemaafan,
sebagaimana yang dikatakan oleh Meninger (1996/1999) berikut ini,
“Kadang-kadang,
tahap ini disebut juga tahap penolakan. Menerima rasa sakit adalah hal yang
berat. Menipu diri atau melupakan, rupanya jauh lebih mudah. Tidak ada orang
yang ingin benar-benar menerima sesuatu yang menyakitkan.”
Setiap
orang yang tidak memaafkan orang lain, sesungguhnya memiliki pengalaman
pergumulan sakit hati yang mirip satu dengan yang lain, meskipun mereka
mengungkapkannya dengan alasan yang unik
atau berbeda. Mereka biasanya berekspresi dingin dengan
pengalamannya, merasa tertekan, berusaha menghindar, melakukan pembalasan, dan
akhirnya menunjukkan sikap ketidakberdayaan serta berharap mendapatkan
pertolongan. Individu selanjutnya dapat berjuang untuk mereduksi perasaan
takut, hingga merasa menjadi biasa dengan perasaan tersebut dan tidak lagi
menjadi suatu ancaman, dengan menghadirkan dan mengalami kembali rasa sakit
(Worthington, 1998). Dalam
situasi terapi kelompok, hal ini sebetulnya sangat menolong untuk bersama-sama
menemukan relevansi dan insight atas kasus individual yang dialami.
Worthington
(1998) menegaskan lagi secara singkat, bahwa memasuki pengalaman sakit dan
terluka merupakan awal proses pemaafan. Dengan kata lain, dapat disimpulkan
bahwa melalui ekspresi dan
pengungkapan emosi dari
pengalaman buruk, kita
diajak untuk mengakui dan mengalami kembali pengalaman terluka yang
tersembunyi,
untuk selanjutnya membuka diri dan memaafkan pelaku. Dengan menerima dan merasakan
kembali sakit dari pengalaman terluka, kita dapat dengan mudah membangun
empati, bersikap altruistik, menegaskan komitmen, hingga akhirnya mampu
mempertahankan konsistensi komitmen untuk memaafkan pelaku. Dengan
menerima rasa sakit, kita
tidak hanya menyetujui dan mengakui pengalaman tersebut sebagai milik kita, melainkan juga
dapat melihat secara lebih dekat dan nyata perihal orang yang melukai, pengaruh
luka tersebut dalam hidup kita, serta kerinduan kita akan keutuhan dan kebahagiaan hidup.
Konsistensi komitmen
sebagai perjuangan tanpa akhir
Sebagai
proses, pemaafan sesungguhnya adalah suatu gerak maju menuju tujuan terakhir
yakni memaafkan orang tertentu yang pernah melukai (Meninger, 1996/1999).
Pernyataan ini memiliki makna bahwa memaafkan orang tertentu merupakan dasar
dan alasan yang menggerakkan kita,
untuk memulai perjalanan
kita dengan memasuki pengalaman sakit, berempati, bertindak
altruistik, hingga membangun komitmen. Pemaafan ibarat perjalanan menuju puncak,
yang sasaran akhirnya yakni memaafkan orang yang telah menimbulkan rasa sakit
hati, siapapun dia. Figur
riel inilah yang menjadi alasan bagi kita, untuk bergerak tahap demi tahap
sampai tahap tertinggi yakni konsistensi komitmen pemaafan. Dalam tahap ini, kita
diharapkan tetap
setia pada komitmennya untuk memaafkan pelaku, yang dapat diungkapkan dan ditegaskan dalam pernyataan
pribadi.
Ketika
berada pada tahap mempertahankan konsistensi komitmen pemaafan, kita
sesungguhnya telah mencapai puncak. Meskipun demikian, tidak serta-merta kita merasa diri sudah mampu
secara utuh dan menyeluruh memaafkan pelaku. Pemaafan sebagai terapi telah
berakhir dan berpuncak pada tahap mempertahankan konsistensi komitmen pemaafan.
Walaupun demikian, tugas untuk mempertahankan konsistensi komitmen ini merupakan
usaha sepanjang hidup kita, hingga akhirnya menjadi utuh dengan tidak lagi
terganggu ketika berhadapan dengan peristiwa, pelaku, dan hal-hal yang
berhubungan dengan pelaku yang melukai. Dengan kata lain, ketika berada pada
tahap puncak, kita semakin menyadari bahwa hidup yang utuh dan bahagia,
tidaklah sepenuhnya ditentukan oleh kesalahan-kesalahan atau pengalaman buruk
di masa lampau (Meninger, 1996/1999). Pada tahap terakhir ini, kita berada pada
puncak kebebasan, ketika kita
memilih melaksanakan perilaku-perilaku baru dan positif, untuk mewujudkan
hal yang menjadi komitmen kita
yakni memaafkan pelaku yang telah membuat kita terluka atau sakit hati.
Mary
Baure (dalam Ransley dan Spy, 2005) dalam penelitiannya terhadap beberapa
responden yang diwawancarai, terungkap bahwa dari proses terapi pemaafan yang
dilaksanakan, mereka yang
sakit hati tidak hanya berhenti dengan menyelesaikan trauma dan
melepas pengalaman sakit, melainkan juga belajar untuk mentransformasi proses
kognisi, afeksi, perilaku, dan motivasi negatif ke dalam karya-karya kreatif,
untuk menolong banyak orang. Ketika membiarkan pengalaman buruknya berlalu,
mereka menjadi lebih kreatif dan terus berjuang mempertahankannya sepanjang
hidup mereka. Melalui proses pemaafan, seseorang mengubah kesedihan dan
penyesalan, cara hidup yang negatif (represif ataupun agresif), serta mengubah
hati untuk memandang pelaku dan segala hal yang berhubungan dengannya dalam
terang baru (Griswold, 2007).
Dari pemaknaan baru atas pengalaman buruk tersebut lahirlah beberapa
tindakan altruistik sebagai kreativitas kita untuk mendukung komitmennya
memaafkan pelaku.
Enright
dan Fitzgibbons (dalam Ransley dan Spy, 2005) menyebut fase ini dengan
pendalaman (deepening), ketika klien
atau kita telah menemukan makna baru dari pengalaman terluka, sehingga termotivasi
secara kuat untuk merealisasikan tujuan-tujuan baru atas dorongan pengalaman
buruk tersebut. Konsistensi dari perealisasian tujuan-tujuan baru tersebut menjadikan
pemaafan tidak sekedar budaya yang dilatih dan dibiasakan, melainkan lebih daripada
itu, menjadi suatu keutamaan yang dipilih secara bebas, karena menyadari harapan
untuk mengalami hidup yang lebih utuh dan bahagia, atas dasar kemurahan dan
cinta. Setiap kali kita berjuang untuk mempertahankan komitmen kita untuk memaafkan,
pada saat yang sama kita sadari
juga bahwa kita telah memilih
hidup yang bisa lebih nyaman dan membahagiakan.
Berdasarkan
uraian di atas, tampak bahwa dari kelima tahap terapi pemaafan, betapa penting bahwa
seseorang perlu membuka diri dan memiliki keberanian untuk menerima pengalaman
terluka dan sakit. Penerimaan pengalaman ini merupakan pintu masuk untuk
memproses dan mengelola pengalaman buruk, dalam cara pandang baru demi
tumbuhnya empati, sikap altruistik, dan komitmen untuk memaafkan. Akhir tahap
pemaafan itu merupakan suatu perjalanan untuk terus memelihara dan
mempertahankan empati, sikap altruistik, dan komitmen pemaafan melalui pikiran,
perasaan, perilaku, dan motivasi positif dari hari ke hari.
Dalam kondisi demikian sesungguhnya
kita tidak sekedar membebaskan orang lain dari rasa bersalah dan konflik,
tetapi juga membebaskan diri kita dari rantai penderitaan yang memenjarakan
kita dengan pikiran, perasaan, perilaku dan motivvasi negatif. Sebaliknya, dalam
pikiran, perasaan, perilaku dan motivasi positif kita menjadi lebih kreatif dan
bebas untuk menafsirkan peristiwa apapun yang kita hadapi dan memutuskan
perilaku yang benar dan membahagiakan untuk diri sendiri dan orang lain yang
dengannya lebih memungkinkan kita merasa bahagia dan penuh makna dalam menjalani
hidup.
*RD. Samuel adalah Imam
Diosesan Pangkalpinang. Dia adalah seorang psikolog (S2 Psikologi) dari UniKa
Soegiopranata, Semarang. Materi ini dibawakan oleh beliau waktu pertemuan para
imam Kevikepan Babel di Puri Sadhana, St. Damian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar