AKSIMU: BELA
SIAPA????
Basuki Cahaya Purnama atau Ahok adalah
tokoh fenomenal yang lagi ngetern saat ini. Kedatangan Ahok dari kampong
Gantung, Belitung ke Jakarta menyedot perhatian publik. Media sosial setiap
hari mengupas tuntas tentang sosok Ahok ini. Mas Pur, tetangga saya pernah
berujar, “Apakah nggak ada berita lain
selain berita Ahok di republik ini?”. Seorang
wartawan berkomentar di sebuah media, “lebih baik menulis berita apa saja
tentang Ahok karena banyak diminati orang, dari pada menulis berita lain yang sering “mematikan”
animo orang untuk membaca”.
Ahok menjadi sosok yang terkenal
ketika menjadi wakil Gubernuar DKI dan kemudian menjadi Gubernur DKI. Gaya kepemimpinan
dan cara berkomunikasi Ahok membuat dia menjadi tokoh yang fenomenal. Apa bila kita merefleksikan pribadi Ahok dalam kajian ilmu Filsafat
Manusia, maka Ahok boleh digambarkan sebagai pribadi paradoksal. Ahok selalu
ditempatkan seolah-olah bertentangan atau berlawanan dengan kebenaran umum,
tetapi kenyataanya gaya kepemimpinan Ahok mengandung kebenaran. Ahok adalah
pribadi yang dicintai sekaligus dibenci, dipuji sekaligus dihina, dikagumi
sekaligus difitnah dan dikuduskan sekaligus dikafirkan. Itulah Ahok manusia
sumber berita.
Ahok memimpin DKI dengan merombak
birokrasi yang korup dan nepotis. Ahok mendahulukan transparansi keuangan dan
menekankan kedisiplian dan loyalitas para pegawai untuk berkerja di Pemprov
DKI. Ahok menertibkan bagunan dan hunian yang tidak beraturan dan berjuang menata kembali wajah kota Jakarta
sebagai ibu kota Negara yang asri. Ingatlah, bahwa bertahun-tahun Kota Jakarta adalah kota kumuh, dekil, jorok, kering dan
selalu dilanda banjir. Selama kepemimpinanya, Ahok telah berbuat banyak untuk
kesejateraan masyarakat DKI, khusunya orang kecil dan terpinggirkan.
Meskipun Ahok telah berjasa besar
untuk DKI, namun tidak disambut baik oleh banyak orang. Pada umunya orang-orang
melawan Ahok adalah para penjahat dan para munafik. Para penjahat merasa terancam karena lahan untuk KKN semakin
sempit, bahkan tidak ada peluang bagi mereka untuk melakukan aksi kejahatanya. Para
munafik selalu berkoar-koar bahwa Ahok
adalah kafir, tidak beretika, tidak santun dan menghina para alim ulama maka
Ahok tidak layak memimpin DKI. Sebenarnya
para munafik ini terancam karena tempat
hiburan; bar, lokalisasi, kafe remang, untuk mengeruk keuntungan telah ditutup dan
digusur oleh Ahok. Oleh Karena itu, perlawanan yang diterima Ahok selama
memimpin DKI adalah motif ekonomi dan
kepentingan bukan yang lain.
Berbagai cara telah ditempuah oleh
para penjahat dan para munafik untuk menghentikan Ahok sebagai pemimpin DKI. Namun
usaha mereka belum berhasil juga. Kasus penistaan agama yang dialamatkan ke
Ahok diyakini ampuh untuk menghentikan
kepemimpian Ahok. Wacana hak angket DPRD dan DPR RI untuk menghentikan Ahok sebagai gubernur
karena status Ahok sebagai tersangka “penistaan” agama. Para penjahat dan para munafik merasa
menang, misi mereka akan berhasil untuk mencopot Ahok melalui kasus penistaan
Agama. Yakin? Jangan berpesta dan membusungkan dada, anda belum tentu
berhasil. Para penjahat dan para munafik
telah memainkan isu agama, mengobok-obok agama dan menjual agama untuk
mewujudkan impian jahatnya. Sadis bukan?
Peristiwa Ahok, sebagai tokoh
fenomenal, kita dapat belajar dan mengerti banyak hal di Negara kita ini. Pertama: Uang dan Kekuasaan adalah
prioritas utama orang Indonesia (DKI) sedangkan nilai-nilai hidup lain seperti
persaudaraan, buadaya, keagamaan hanya sebagai faktor pendudkung saja dalam
kehidupan. Kedua: Egoisme, sikap
mementingkan diri dan golongan menjadi pilihan utama di DKI, coba kita
renungkan slogan ini “yang penting bukan Ahok”. Ketiga: fungsi alim ulama sebagai penjaga moral dan perekat kesatuan
bangsa telah pudar. Para alim ulama terobang ambing dalam arus kekuasaan dan
mamon. Keempat: Sulit untuk
memberikan apresiasi apa lagi mengakui sebuah
keberhasilan. Lebih baik mencari kelemahan dan kekurangan orang lain dari pada
memuji kelebihannya. Kelima: budaya malu hampir punah. Orang bangga
jika melakukan sebuah tindakan tercela dan merasa malu dan aneh jika melakukan
sesuatu yang baik. Orang merasa suci ketika menyebut nama Allah sambil memaki
dan menghina orang. Keenam: kita
tidak bisa membedakan rana privit agama dan rana politik/Negara. Kita jangan
mencoba untuk mencampuradukannya, kalau bukan khos yang kita terima.