JALAN
PANJANG PERTOBATAN
PENGANTAR
Tulisan ini merupakan buah refleksi dari Pastor Alex Sudirja,
SJ untuk bahan renungan masa Pra-Paskah. Pesan masa puasa yang disampaikan pada
penerima abu, “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil. Inilah inti pesan dari
pewartaan Perjanjian Baru. Yesus mengawali misi-Nya dengan pesan ini, “Waktunya
telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada
Injil” (Mrk 1:15), dan sampai akhir Yesus masih bergulat dengan kedegilan hati,
kelemahan dan kekeliruan para murid, yang memerlukan pertobatan.
Seorang pengamat kehidupan, P. R Divarker, mengungkapkan
bahwa tobat membuat kita dapat berubah dan menjadi bahagia. Dalam tulisanya
Divarker mengatakan, “Change end be
happy” dan lebih lanjut dia mengatakan, “Change
is not an event, it is a process, there is a long road to real change”.
Dalam refleksi ini kita akan telusuri jalan panjang pertobatan, dengan
mengamati kegagalan dua rasul, Yudas dan Simon, lalu memetik hikmahnya untuk
pertobatan kita sendiri.
KEGAGALAN YUDAS
Mateus 26: 20-25 mengisahkan tentang sosok Rasul Yudas.
Ketika membaca dan merenungkan perikope ini terlintas sosok Yudas yang
pura-pura bertanya, seolah-olah dia tidak mengetahui peristiwa yang akan
dialami oleh Yesus. “Bukan aku, ya Rabi?” .
Yesus memberikan sebuah peryataan dan secara tidak langsung mengajak Yudas untuk bersikap jujur pada
dirinya sendiri. “Anak manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada
tertulis tentang Dia, akan tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu
diserahkan. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan”
(Mat 26: 24).
Kesan dari peryataan Yesus (ayat 24) ini sungguh sangat
keras. Tidak ada Firman dalam kitab Suci Perjanjian Baru yang lebih menakutkan
dari pada pernyataan Yesus ini. Apa lagi kalau kita mengingat siapa yang
mengatakan dan tentang siapa hal itu dikatakan. Maka muncul pertanyaan di dalam
batin kita: Apakah Yesus mau mengatakan
bahwa Yudas akan binasa di neraka selamanya? Apabila Yudas tidak binasa,
berarti selamat dan mencapai kebahagiaan, apakah ada peluang sedikit pada
akhirnya? Bagaimana mengenai misteri kerahiman Allah yang Maha agung dan tidak
terselami kebijaksanaan-Nya?
REFLEKSI ATAS KEGAGALAN
YUDAS
Penghianatan Yudas bagi Sebelas Rasul sangat mengejutkan, mereka
sangat sedih ketika Yesus memberitahu mereka sebelumnya, mereka hampir tidak
percaya ketika itu betul terjadi, karena sungguh tidak masuk akal. Bagi Yudas
sendiri tampaknya penghianatan yang telah dilakukannya ini tidak
bermaksud untuk membinasakan
Yesus. Yudas tidak bermaksud melukai Yesus, tetapi dia melakukan, maka dia
terkejut, dia sendiri kecewa, putus asa dan bunuh diri.
Saya sendiri tidak reaktif waktu membaca kisah penghianatan
ini, mungkin karena sudah terbiasa membaca kisah sengsara dan penghianatan
Yudas hanyalah salah satu bagian kecil saja. Dalam refleksi, saya yakin dengan
pernyataan tadi, Yesus tidak berbicara tentang nasib akhir Yudas yang
mengerikan itu (sebagai konsekuensi dari penghianatannya), tetapi tentang
realitas tindakan penghianatan itu sendiri.
Setiap penghianatan, sebagai suatu realitas intrinsik, lepas
dari konsekuensinya, memang mengerikan. Apalagi
kalau konsekunesi yang mengerikan itu sebetulnya tidak di luar
penyebabnya (bukan hukuman yang ditimpahkan dari luar), tetapi terkandung dalam
realitas penghianatan itu sendiri (dalam
tindakan penghianatan, si penghianat menghianati inti kepribadiannya sendiri,
ia menghancurkan dirinya sendiri).
Penghianatan Yudas adalah hasil akhir dari suatu proses
panjang, yang berawal pada perbedaan faham tentang Mesianisme dan discipleship.
Jalan pikiran dan sikap batin Yudas yang kurang seiring dengan ajaran dan
semangat gurunya, tanpa disadari makin melebar sampai bertentangan, dan ia
berubah kiblat. Sikap permisif dalam
perkara kecil, yang kurang tampak jahatnya diawal, kalau kurang disadari, bisa
membahayakan dan menjerumuskan orang ke jurang yang mengerikan.
KEGAGALAN SIMON PETRUS
Injil Markus 14: 26-31 mengisahkan tentang penyangkalan Simon
Petrus terhadap Yesus. Ketika membaca perikope ini, khususnya peringatan yang
diberikan oleh Yesus, “Kamu semua akan tergoncang imanmu (ayat 27)”, dan janji
setia Simon, yang berkata, “Sekalipun
aku harus mati bersama-sama dengan Engkau, aku tak akan menyangkal Engkau (ayat
31)”. Ada pertanyaan muncul: Bukankah
Simon sungguh-sungguh mencintai Yesus? Apa bila kita mengingat kembali
peristiwa dialog Yesus dengan Simon. Yesus pernah mengajukan tiga kali
pertanyaan dengan redaksi kalimat yang sama, “Simon! Apakah engaku
mengasihi-Ku? Simon menjawab, “Saya sungguh mengasihi-Mu”. Apakah janji setia
Simon ini betul-betul tulus? Mengapa kemudia dia begitu mudah menyangkal?
Simon menyangkal Yesus, ketika ia mau membuktikan cinta dan
kesetiaanya kepada Yesus, setelah ia dan semua teman meninggalkan Yesus dan
melarikan diri di taman Getsemani. Cinta dan berpaut pada Yesus itu berbahaya
dan mengandung resiko besar. Cinta yang
mendalam dan kepribadian yang kuat betul berbahaya, kecuali kalau disertai pemaknaan diri yang mendalam
dan pemahaman yang mendalam pula tentang Kristus dan cita-cita-Nya. Itulah yang
tidak dimiliki oleh Simon. Sudah beberapa kali Yesus selalu mengingatkan Simon,
agar dia harus belajar dengan tekun
walaupun menyakitkan. Dari kegagalan-kegagalan itu, Simon betul rendah hati dan
selalu mengandalkan kekuatan rahmat Allah.
PERTOBATAN SEBAGAI
ASKESE
Askese sebagai sarana dalam perkembangan hidup rohani,
termasuk pertobatan, adalah proses yang mengandung tuntutan, untuk bertekun
dalam usaha, untuk sikap berkorban dan menderita, sambil tetap mengandalkan kuasa rahmat Tuhan.
Belajar dari penghianatan Yudas, saya semakin yakin, bahwa kepada Kristus yang memberikan
diri secara total, saya harus menyerahkan diri secara total pula. Reservasi,
kecil bagaimana pun membahayakan, khususnya kalau kurang disadari. Sikap
permisif dan penyelewengan pada hal kecil dan sederhana kalau tidak disadari
dan jadi kebiasaan, bisa berakhir fatal. Untuk mencounter ini membiasakan diri untuk melakukan examination of consciousness atau examen conscientiae bisa efektif
menolong. Itulah discernment
keseharian, atau suatu bentuk doa kepada Roh Kudus.
Belajar dari penyangkalan Simon Petrus, saya menyadari bahwa sangat penting belajar mengenal diri
sendiri dan belajar mengenal Kristus. Orang yang belajar menegnal diri adalah
orang yang rendah hati, membuka diri dan selalu mawas diri. Ilmu psikologi
banyak menawarkan metode pengenalan diri, salah satunya seperti consideration status. Pengenalan Kristus
sebetulnya bukan pengetahuan atau pengertian, melainkan relasi intimitas dengan
Dia, Sang Guru Ilahi. Maka relasi akrabku dengan Yesus Kristus, makin amanlah
jalanku menuju kedewasaan.
Maria adalah teladan dalam pertobatan, karena Maria memiliki “docility” (keterbukaan untuk belajar meresapkan Firman Tuhan
dengan kebiasaan menyembah dan merenungkan pengalaman) dan “transparency” (pengenalan diri yang mendalam sebagai hamba yang
dikasihi Tuhan).