Senin, 06 Maret 2017

TOBAT LONG ROAD

JALAN  PANJANG  PERTOBATAN


PENGANTAR
Tulisan ini merupakan buah refleksi dari Pastor Alex Sudirja, SJ untuk bahan renungan masa Pra-Paskah. Pesan masa puasa yang disampaikan pada penerima abu, “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil. Inilah inti pesan dari pewartaan Perjanjian Baru. Yesus mengawali misi-Nya dengan pesan ini, “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk 1:15), dan sampai akhir Yesus masih bergulat dengan kedegilan hati, kelemahan dan kekeliruan para murid, yang memerlukan pertobatan.


Seorang pengamat kehidupan, P. R Divarker, mengungkapkan bahwa tobat membuat kita dapat berubah dan menjadi bahagia. Dalam tulisanya Divarker mengatakan, “Change end be happy” dan lebih lanjut dia mengatakan, “Change is not an event, it is a process, there is a long road to real change”. Dalam refleksi ini kita akan telusuri jalan panjang pertobatan, dengan mengamati kegagalan dua rasul, Yudas dan Simon, lalu memetik hikmahnya untuk pertobatan kita sendiri.

KEGAGALAN YUDAS
Mateus 26: 20-25 mengisahkan tentang sosok Rasul Yudas. Ketika membaca dan merenungkan perikope ini terlintas sosok Yudas yang pura-pura bertanya, seolah-olah dia tidak mengetahui peristiwa yang akan dialami oleh Yesus. “Bukan aku, ya Rabi?” .  Yesus memberikan sebuah peryataan dan secara tidak langsung  mengajak Yudas untuk bersikap jujur pada dirinya sendiri. “Anak manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia, akan tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan” (Mat 26: 24).

Kesan dari peryataan Yesus (ayat 24) ini sungguh sangat keras. Tidak ada Firman dalam kitab Suci Perjanjian Baru yang lebih menakutkan dari pada pernyataan Yesus ini. Apa lagi kalau kita mengingat siapa yang mengatakan dan tentang siapa hal itu dikatakan. Maka muncul pertanyaan di dalam batin kita:  Apakah Yesus mau mengatakan bahwa Yudas akan binasa di neraka selamanya? Apabila Yudas tidak binasa, berarti selamat dan mencapai kebahagiaan, apakah ada peluang sedikit pada akhirnya? Bagaimana mengenai misteri kerahiman Allah yang Maha agung dan tidak terselami kebijaksanaan-Nya?

REFLEKSI ATAS KEGAGALAN YUDAS
Penghianatan Yudas bagi Sebelas Rasul sangat mengejutkan, mereka sangat sedih ketika Yesus memberitahu mereka sebelumnya, mereka hampir tidak percaya ketika itu betul terjadi, karena sungguh tidak masuk akal. Bagi Yudas sendiri tampaknya penghianatan yang telah dilakukannya ini  tidak  bermaksud  untuk membinasakan Yesus. Yudas tidak bermaksud melukai Yesus, tetapi dia melakukan, maka dia terkejut, dia sendiri kecewa, putus asa dan bunuh diri.

Saya sendiri tidak reaktif waktu membaca kisah penghianatan ini, mungkin karena sudah terbiasa membaca kisah sengsara dan penghianatan Yudas hanyalah salah satu bagian kecil saja. Dalam refleksi, saya yakin dengan pernyataan tadi, Yesus tidak berbicara tentang nasib akhir Yudas yang mengerikan itu (sebagai konsekuensi dari penghianatannya), tetapi tentang realitas tindakan penghianatan itu sendiri.

Setiap penghianatan, sebagai suatu realitas intrinsik, lepas dari konsekuensinya, memang mengerikan. Apalagi  kalau konsekunesi yang mengerikan itu sebetulnya tidak di luar penyebabnya (bukan hukuman yang ditimpahkan dari luar), tetapi terkandung dalam realitas  penghianatan itu sendiri (dalam tindakan penghianatan, si penghianat menghianati inti kepribadiannya sendiri, ia menghancurkan dirinya sendiri).

Penghianatan Yudas adalah hasil akhir dari suatu proses panjang, yang berawal pada perbedaan faham tentang Mesianisme dan discipleship. Jalan pikiran dan sikap batin Yudas yang kurang seiring dengan ajaran dan semangat gurunya, tanpa disadari makin melebar sampai bertentangan, dan ia berubah kiblat. Sikap permisif  dalam perkara kecil, yang kurang tampak jahatnya diawal, kalau kurang disadari, bisa membahayakan dan menjerumuskan orang ke jurang yang mengerikan.

KEGAGALAN SIMON PETRUS
Injil Markus 14: 26-31 mengisahkan tentang penyangkalan Simon Petrus terhadap Yesus. Ketika membaca perikope ini, khususnya peringatan yang diberikan oleh Yesus, “Kamu semua akan tergoncang imanmu (ayat 27)”, dan janji setia  Simon, yang berkata, “Sekalipun aku harus mati bersama-sama dengan Engkau, aku tak akan menyangkal Engkau (ayat 31)”.  Ada pertanyaan muncul: Bukankah Simon sungguh-sungguh mencintai Yesus? Apa bila kita mengingat kembali peristiwa dialog Yesus dengan Simon. Yesus pernah mengajukan tiga kali pertanyaan dengan redaksi kalimat yang sama, “Simon! Apakah engaku mengasihi-Ku? Simon menjawab, “Saya sungguh mengasihi-Mu”. Apakah janji setia Simon ini betul-betul tulus? Mengapa kemudia dia begitu mudah menyangkal?

Simon menyangkal Yesus, ketika ia mau membuktikan cinta dan kesetiaanya kepada Yesus, setelah ia dan semua teman meninggalkan Yesus dan melarikan diri di taman Getsemani. Cinta dan berpaut pada Yesus itu berbahaya dan mengandung resiko besar.  Cinta yang mendalam dan kepribadian yang kuat betul berbahaya, kecuali  kalau disertai pemaknaan diri yang mendalam dan pemahaman yang mendalam pula tentang Kristus dan cita-cita-Nya. Itulah yang tidak dimiliki oleh Simon. Sudah beberapa kali Yesus selalu mengingatkan Simon, agar  dia harus belajar dengan tekun walaupun menyakitkan. Dari kegagalan-kegagalan itu, Simon betul rendah hati dan selalu mengandalkan kekuatan rahmat Allah.

PERTOBATAN SEBAGAI ASKESE
Askese sebagai sarana dalam perkembangan hidup rohani, termasuk pertobatan, adalah proses yang mengandung tuntutan, untuk bertekun dalam usaha, untuk sikap berkorban dan menderita,  sambil tetap mengandalkan kuasa rahmat Tuhan.


Belajar dari penghianatan Yudas, saya semakin  yakin, bahwa kepada Kristus yang memberikan diri secara total, saya harus menyerahkan diri secara total pula. Reservasi, kecil bagaimana pun membahayakan, khususnya kalau kurang disadari. Sikap permisif dan penyelewengan pada hal kecil dan sederhana kalau tidak disadari dan jadi kebiasaan, bisa berakhir fatal. Untuk mencounter ini membiasakan diri untuk melakukan examination of consciousness atau examen conscientiae bisa efektif menolong. Itulah discernment keseharian, atau suatu bentuk doa kepada Roh Kudus.

Belajar dari penyangkalan Simon Petrus, saya menyadari  bahwa sangat penting belajar mengenal diri sendiri dan belajar mengenal Kristus. Orang yang belajar menegnal diri adalah orang yang rendah hati, membuka diri dan selalu mawas diri. Ilmu psikologi banyak menawarkan metode pengenalan diri, salah satunya seperti consideration status. Pengenalan Kristus sebetulnya bukan pengetahuan atau pengertian, melainkan relasi intimitas dengan Dia, Sang Guru Ilahi. Maka relasi akrabku dengan Yesus Kristus, makin amanlah jalanku menuju kedewasaan.

Maria adalah teladan dalam pertobatan, karena  Maria memiliki “docility” (keterbukaan untuk belajar meresapkan Firman Tuhan dengan kebiasaan menyembah dan merenungkan pengalaman) dan “transparency” (pengenalan diri yang mendalam sebagai hamba yang dikasihi Tuhan).