Minggu, 14 Desember 2014

Katolik: Nilai Perkawinan

Katolik:  
Menjunjung Tinggi Nilai Perkawinan

Definisi Perkawinan Katolik

Perkawian adalah persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita, yang terjadi karena persetujuan pribadi, yang tidak dapat ditarik kembali, dan harus diarakan kepada saling mencintai sebagai suami istri, dan kepada pembangunan keluarga, dan oleh karenanya menuntut kesetiaan yang sempurna, dan tidak mungkin dibatalkan oleh siapa pun, kecuali oleh kematian.


Dasar-dasar Perkawinan Katolik
Sebagian besar orang dipanggil untuk kehidupan berumah tangga. Melalui Sakramen Perkawinan, Tuhan memberikan rahmat yang khusus kepada pasangan yang menikah untuk menghadapi bermacam tantangan yang mungkin timbul, terutama sehubungan dengan membesarkan anak-anak dan mendidik mereka untuk menjadi para pengikut Kristus yang sejati.
Dalam sakramen Perkawinan terdapat tiga pihak yang dilibatkan, yaitu mempelai pria, mempelai wanita dan Allah sendiri. Ketika kedua mempelai menerimakan sakramen Perkawinan, Tuhan berada di tengah mereka, menjadi saksi dan memberkati mereka. Allah menjadi saksi melalui perantaraan imam, atau diakon, yang berdiri sebagai saksi dari pihak Gereja.

Perkawinan katolik disebut sebagai Sakramen karena kesatuan kudus antara suami dan istri yang menjadi tanda yang hidup tentang hubungan Kristus dengan Gereja-Nya.  Karenannya, perkawinan sakramental katolik adalah sesuatu yang tetap dan tidak diceraikan, kecuali oleh maut (Mrk 10: 1-10; Rom 7: 2-3; 1 Kor 7: 1-16).
Dalam kanon 1055 KHK 1983, dapat dilihat pengertian dasar mengenai per­kawinan Katolik. "Dengan perjanjian, pria dan wanita membentuk kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya, perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami­ istri serta kelahiran anak; oleh Kristus Tuhan, perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat sakramen.

Cinta Kristus menjadi dasar perkawinan Katolik (bdk. Yoh 15:9-17; Ef 5:22-33). Yang menjadi dasar dalam membangun hidup berkeluarga adalah cin­ta Yesus Kristus kepada Gereja- Nya. Suami dan istri dipanggil untuk saling mencintai secara timbal balik, total dan menyeluruh, saling memberi dan menerima yang diungkapkan dalam persetubuhan. Persetubuhan dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kondisi dan situasi pasangannya, penuh pengertian, dilakukan secara sukarela, tanpa ada paksaan. Persetubuhan bukan hanya menunjukkan kesatuan fisik biologis, tetapi juga kesatuan hati, ke­hendak, perasaan, dan visi, yakni mengusahakan kebahagaiaan dan kesejahter­aan bersama. Dengan persetubuhan, sebuah perkawinan disempurnakan.

Tujuan dan sifat dasar Perkawinan Katolik
Segi Unity: Seorang wanita dan seorang pria dipanggil untuk saling membahagiakan dan mencapai kesejateraan suami-istri.  Keduanya memiliki tanggungjawab dan memberikan kontribusi untuk mewujudkan kesejateraan dan kebahagiaan suami-istri.


Segi Prokreatif: Terarah pada keturunan. Kesatuan pasangan suami-istri dianugerahi rahmat kesuburan untuk memperoleh buah cinta berupa keturunan manusia baru yang menjadi makhota perkawinan. Anak yang dipercayakan Tuhan harus dicintai, dirawat, dipelihara, dilindungi, dididik secara katolik. Ini merupakan tugas hakiki dari suami-istri yang keluar dari hakikat perkawinan.

Menghindari perzinaan dan penyimpangan seksual. Perkawinan dimaksud­kan juga sebagai sarana mengekspresikan cinta kasih dan hasrat seksual ko­drati manusia. Dengan perkawinan, dapat dicegah kedosaan karena perzi­naan atau penyimpangan hidup seksual. Dengan perkawinan, setiap manusia diarahkan pada pasangan sah yang dipilih dan dicintai dengan bebas sebagai teman hidup. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Paulus, "Tetapi, kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik kawin daripada hangus karena nafsu" (lKor 7:9).
Perlu diketahui bahwa dalam perkawinan katolik: kemandulan, baik salah satu mau pun keduanya, tidak  tidak membatalkan perkawinan, dan tidak ada alasan untuk bercerai. Anak hanya buah kasih dari rahmat Allah melulu.

Sifat-sifat perkawinan Katolik
Unitas, artinya kesatuan antara seorang pria dan seorang wanita menurut relasi cinta yang eksklusif. Dengan kata lain, tidak ada hubungan khusus di luar pasutri. Sifat unitas mengecualikan relasi di luar perkawinan, po­ligami, PIL, WIL.
lndissolubilitas, tak terceraikan, artinya ikatan perkawinan hanya diputus­kan oleh kematian salah satu pasangan atau keduanya. "Apa yang sudah disatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (bdk. Mat 19:6; Mrk 10:9). Untuk itu, dituntut adanya kesetiaan dalam untung dan malang, dalam suka dan duka. Dalam hal inilah saling pengertian, pengampunan sangat dituntut.
Sakramental, artinya sakramentalitas perkawinan dimulai sejak terjadi­nya konsensus/perjanjian antara dua orang dibaptis yang melangsungkan perkawinan. Perkawinan disebut sakramental, artinya menjadi tanda ke­hadiran Allah yang menyelamatkan. Untuk itu, dari pasangan suami-istri dituntut adanya cinta yang utuh, total, radikal, tak terbagi sebagaimana cinta Yesus kepada Gereja-Nya (bdk. Ef 5:22-33).

Pembelajaran Buat Kita
Berdasarkan penjelasan singkat di atas, akhirnya kita mengetahui bahwa Gereja Katolik menjunjung tinggi perkawinan. Bahkan satu-satunya, agama yang menempatkan keluhuran dan martabat perkawinan luar biasa baik dalam doktrin maupun dalam parktiknya. Berdasarkan pemahaman tersebut,  akhirnya saya memaklumi bahwa Gereja Katolik sangat tegas dan teliti soal perkawinan selama ini.
Satu-satunya agama yang mempunyai hukum perkawinan bersifat monogami. Hal seperti ini sangat langkah untuk dunia dewasa ini, yang penuh dengan hedonisme, free seks, perceraian dan lain-lain. Monogami ini juga sebagi tindakan untuk menghormati martabat manusia. Manusia bukan hewan sehingga hari ini kawin besok cerai, lalu kawin dan cerai terus.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar