Senin, 23 Juli 2018

Filsuf Politik


Filsafat Politik Zaman Yunani Kuno

(oleh Bima Satria Putra)


Pengantar

Sudah sejak 2.500 tahun yang lalu, manusia mempusatkan pemikiran pada dirinya. Sebelumnya, para filsuf pra-sokrates mencari tahu inti segala sesuatu (arche), tentang ‘ada’ dan pembentukan alam semesta. Hingga kemudian pada zaman kaum sofi, filsafat turun dari langit dan berkutat dengan persoalan tentang tentang kehidupan sosial, moral, estetika, ekonomi dan negara. Negara tidak lepas dari para pemikir tersebut, dan hingga zaman kontemporer (sekarang) para pemikir masih juga sibuk membahasnya. Selalu ada topik baru untuk didiskusikan, karena tiap zaman membawa dinamika dan persoalan sendiri terkait politik & negara.
Indonesia juga tidak luput mendapat pengaruh sistem politik ‘barat’ yang menggantikan sistem politik ‘timur’ dimana para raja dan bangsawan di agung-agungkan. Salah satu ciri sistem politik yang kebarat-baratan itu dapat dilihat dari keberadaan badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta pemilihan umum yang telah kita laksanakan.
Retorika & Relativisme
Mari kita mulai pada para pemikir Yunani kuno (kurang lebih 499 SM). Yunani kuno waktu itu mempunyai sistem politik demokrasi yang berbentuk dalam sebuah polis (negara kota). Didalam polis terdapat semacam komite atau senat yang dimana pengambilan keputusan dan kebijakan ditentukan berdasarkan suara terbanyak. Hal ini menuntut politikus zaman itu untuk pintar berpidato dan berdebat (retorika) agar dapat meyakinkan senat dan memenangkan suatu perkara atau memperoleh simpati rakyat.

Kaum Sofis (pengajar kebijaksanaan) hadir untuk mengajar para politikus, seni berbicara dan berargumentasi didepan publik, sehingga mereka yang tidak mempunyai kemampuan dalam bidang pemerintahan dan kenegaraan dapat terjun langsung ke dunia politik. Sayangnya kemampuan seni berbicara tersebut hanya digunakan untuk mencapai kekuasaan. Kaum Sofis dikenal nakal karena dalam seni berargumentasi mereka selalu menghalalkan segara cara untuk memenangkan suatu perkara dan mendapatkan simpati massa. Mereka dikritik karena tidak menjunjung tinggi kebenaran di dalam argumentasi mereka.
Pada gilirannya kaum Sofis memunculkan aliran relativisme, yang dimana bahwa pendirian baik-buruk atau benar-salahnya suatu pandangan tergantung pada manusia yang bersangkutan mengenai hal tersebut. Jadi, apa yang baik oleh seseorang belum tentu baik oleh yang lain. Dan ajaran ini juga berlaku pada banyak bidang lainnya, termasuk hukum dan negara. Kaum Sofis menolak bahwa hukum positif (peraturan, undang-undang) berlaku mutlak dimana-mana tanpa terkecuali. Kemutlakan hukum selalu berkaitan dengan para pembuat hukum yang berbeda-beda ditempat yang berbeda-beda pula. Dalam suatu tempat, hukum menjadi alat untuk menindas kaum yang lemah (kondisi Thrasymachos) dan ditempat lain hukum menjadi alat untuk melindung kaum yang lemah (kondisi Kallikles).
Salah satu filsuf Sofis yang tersohor adalah Protagoras (485-415), ia berpandangan bahwa manusia dianugerahi oleh dewa dengan keadilan (dike) dan hormat (aidos). Dengan kedua anugerah ini manusia kemudian dapat membuat undang-undang. Undang-undang yang satu tidak lebih baik ketimbang undang-undang yang lain, melainkan undang-undang cocok dengan suatu masyarakat tertentu, tetapi tidak cocok dengan masyarakat yang lain.
Eudaimonia (Jiwa Yang Baik)
Sokrates (470-399 SM), pada zaman yang sama menganjurkan kepada penduduk Athena untuk mencapai “jiwa yang baik”. “Jiwa yang baik” dipahami sebagai keadaan objektif, yaitu berkembangnya seluruh aspek kemanusian personal (emosional, moral, sosial, rohani dsb). Dalam artian bahwa, seseorang dengan pemikiran “yang baik” akan bertindak “yang baik” pula. Dalam negara, Sokrates berpandangan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai pengertian “yang baik” tersebut. Karena tujuan dari terbentuknya negara adalah memajukan kebahagiaan para warga dan membuat jiwa mereka menjadi sebaik mungkin, maka penguasa negara harus memahami tentang “yang baik” agar dapat mencapai tujuan dari terbentuknya suatu negara.
Sayangnya kemudian Sokrates divonis mati dalam pengadilan rakyat Athena dan dinyatakan bersalah dengan mayoritas 60 suara (280 melawan 220). Tetapi ajaran Sokrates kemudian diturunkan kepada muridnya, Plato ((427-347 SM). Plato mengajarkan bahwa manusia sebaiknya mencapai “yang baik”, namun hidup “yang baik” tersebut hanya terdapat didalam polis. Bagi Plato, sejatinya kodrat manusia adalah makhluk sosial, yang tentu saja makhluk yang berinteraksi didalam polis. Plato menyarankan untuk selalu bersama agar dapat mencapai kebahagiaan, sebab manusia tidak akan mencapai kebahagiaan dengan menyendiri.


Berdasarkan pengalamannya tentang gurunya, Plato kemudian meradikalisasikan pemikirannya terhadap negara. “Semua negara sekarang ini diperintah secara buruk” kata Plato. Sama seperti Sokrates, Plato menyarankan bahwa negara harus dipimpin oleh pemimpin yang berorientasi pada “yang baik”, atau yang dimaksud Plato adalah filsuf. Jadi, Plato membangun model negara yang baik, yaitu negara dengan 3 jenis golongan, yaitu ; golongan penjamin nafkah, golongan penjaga dan para pemimpin. Penjamin nafkah adalah mereka yang memproduksi kebutuhan manusia, sementara penjaga adalah golongan yang mengawas dan mengatur para penjamin nafkah agar tidak hanya memikirkan kepentingan pribadinya. Golongan penjaga ini harus dididik secara intensif dengan kedisiplinan dan kebijaksanaan, antara lain dengan diajarkan filsafat juga. Para pemimpin kemudian diambil dari golongan penjaga (yang paling mendalami filsafat), sebab Plato berpendapat bahwa pemimpin negara yang baik adalah filsuf.
Pemikiran Plato mengenai negara yang baik mungkin terlalu idealis, karena pada kenyataannya susah untuk direalisasikan. Filsuf adalah para pecinta kebijaksanaan, mereka adalah para pemikir. Mungkin alangkah baik jika para filsuf tersebut kemudian yang mendidik para pemimpin agar dapat mengambil keputusan dan membuat kebijak yang baik dan benar, atau cara yang termudah tentu saja adalah menjadikan para filsuf sebagai penasihat pemimpin negara.
Bentuk Negara Yang Baik
Sementara Aristoteles (427-347 SM), murid Plato, mempunyai ajaran mengenai bentuk negara yang baik, yang dibedakan menjadi tiga ; monarki, aristokrasi, dan demokrasi (politeia : pemerintahan moderat dengan UUD). Menurut Sokrates, negara yang baik adalah negara yang mengarah kepada kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi penguasa. Dengan demikian, Aristoteles berpandangan bahwa demokrasi merupakan yang paling baik, dimana setiap warga negara dapat bergantian memerintah lewat pemilihan secara periodik sehingga terdapat keseimbangan antara golongan.
Ajaran Aristoteles mengenai pemimpin secara tidak langsung tidak jauh berbeda dengan gurunya. Ketakutannya mengenai penyalahgunaan kewenangan pemimpin negara, menuntut negara yang dipimpin oleh pemimpin yang baik. Monarki dapat menjadi tirani, jika pemimpin negara bertindak sewenang-wenang sesuai keinginannya. Sementara aristokrasi dapat menjadi oligarki, jika kekuasaan hanya ada pada beberapa orang. Yang paling berbahaya adalah demokrasi tanpa undang-undang, dimana situasi dan keadaan dapat menjadi kacau. Yang kemudian dapat menimbulkan anarki (dari kata a=tidak, dan arkhe=prinsip, asas).

Dengan penjelasan diatas, kita dapat mengetahui bahwa para pemikir Yunani kuno mempunyai pandangan sendiri mengenai politik dan negara. Beberapa mungkin tidak relevan sesuai perkembangan jaman, sementara yang lain tidak praktis atau sulit diwujudkan. Walau demikian, pemikiran-pemikiran diatas bermaksud untuk memberikan usulan mengenai pemerintahan dan kenegaraan yang baik. Karena sudah menjadi sifat kodrati tiap individu untuk hidup bersosial dan memperoleh kebahagiaan dalam interaksinya dengan masyarakat, maka pemikiran tersebut dapat menjadi kerangka rujukan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.