Filsafat Politik Zaman Yunani Kuno
(oleh Bima
Satria Putra)
Pengantar
Sudah sejak
2.500 tahun yang lalu, manusia mempusatkan pemikiran pada dirinya. Sebelumnya,
para filsuf pra-sokrates mencari tahu inti segala sesuatu (arche), tentang
‘ada’ dan pembentukan alam semesta. Hingga kemudian pada zaman kaum sofi,
filsafat turun dari langit dan berkutat dengan persoalan tentang tentang
kehidupan sosial, moral, estetika, ekonomi dan negara. Negara tidak lepas dari
para pemikir tersebut, dan hingga zaman kontemporer (sekarang) para pemikir
masih juga sibuk membahasnya. Selalu ada topik baru untuk didiskusikan, karena
tiap zaman membawa dinamika dan persoalan sendiri terkait politik & negara.
Indonesia
juga tidak luput mendapat pengaruh sistem politik ‘barat’ yang menggantikan
sistem politik ‘timur’ dimana para raja dan bangsawan di agung-agungkan. Salah
satu ciri sistem politik yang kebarat-baratan itu dapat dilihat dari keberadaan
badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta pemilihan umum yang telah
kita laksanakan.
Retorika
& Relativisme
Mari kita
mulai pada para pemikir Yunani kuno (kurang lebih 499 SM). Yunani kuno waktu
itu mempunyai sistem politik demokrasi yang berbentuk dalam sebuah polis
(negara kota). Didalam polis terdapat semacam komite atau senat yang dimana
pengambilan keputusan dan kebijakan ditentukan berdasarkan suara terbanyak. Hal
ini menuntut politikus zaman itu untuk pintar berpidato dan berdebat (retorika)
agar dapat meyakinkan senat dan memenangkan suatu perkara atau memperoleh
simpati rakyat.
Kaum Sofis
(pengajar kebijaksanaan) hadir untuk mengajar para politikus, seni berbicara
dan berargumentasi didepan publik, sehingga mereka yang tidak mempunyai
kemampuan dalam bidang pemerintahan dan kenegaraan dapat terjun langsung ke
dunia politik. Sayangnya kemampuan seni berbicara tersebut hanya digunakan
untuk mencapai kekuasaan. Kaum Sofis dikenal nakal karena dalam seni
berargumentasi mereka selalu menghalalkan segara cara untuk memenangkan suatu
perkara dan mendapatkan simpati massa. Mereka dikritik karena tidak menjunjung
tinggi kebenaran di dalam argumentasi mereka.
Pada
gilirannya kaum Sofis memunculkan aliran relativisme, yang dimana bahwa
pendirian baik-buruk atau benar-salahnya suatu pandangan tergantung pada manusia
yang bersangkutan mengenai hal tersebut. Jadi, apa yang baik oleh seseorang
belum tentu baik oleh yang lain. Dan ajaran ini juga berlaku pada banyak bidang
lainnya, termasuk hukum dan negara. Kaum Sofis menolak bahwa hukum positif
(peraturan, undang-undang) berlaku mutlak dimana-mana tanpa terkecuali.
Kemutlakan hukum selalu berkaitan dengan para pembuat hukum yang berbeda-beda
ditempat yang berbeda-beda pula. Dalam suatu tempat, hukum menjadi alat untuk
menindas kaum yang lemah (kondisi Thrasymachos) dan ditempat lain hukum menjadi
alat untuk melindung kaum yang lemah (kondisi Kallikles).
Salah satu
filsuf Sofis yang tersohor adalah Protagoras (485-415), ia berpandangan bahwa
manusia dianugerahi oleh dewa dengan keadilan (dike) dan hormat (aidos).
Dengan kedua anugerah ini manusia kemudian dapat membuat undang-undang.
Undang-undang yang satu tidak lebih baik ketimbang undang-undang yang lain,
melainkan undang-undang cocok dengan suatu masyarakat tertentu, tetapi tidak
cocok dengan masyarakat yang lain.
Eudaimonia
(Jiwa Yang Baik)
Sokrates (470-399 SM), pada zaman yang sama
menganjurkan kepada penduduk Athena untuk mencapai “jiwa yang baik”. “Jiwa yang
baik” dipahami sebagai keadaan objektif, yaitu berkembangnya seluruh aspek
kemanusian personal (emosional, moral, sosial, rohani dsb). Dalam artian bahwa,
seseorang dengan pemikiran “yang baik” akan bertindak “yang baik” pula. Dalam
negara, Sokrates berpandangan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai pengertian
“yang baik” tersebut. Karena tujuan dari terbentuknya negara adalah memajukan
kebahagiaan para warga dan membuat jiwa mereka menjadi sebaik mungkin, maka
penguasa negara harus memahami tentang “yang baik” agar dapat mencapai tujuan
dari terbentuknya suatu negara.
Sayangnya
kemudian Sokrates divonis mati dalam pengadilan rakyat Athena dan dinyatakan
bersalah dengan mayoritas 60 suara (280 melawan 220). Tetapi ajaran Sokrates
kemudian diturunkan kepada muridnya, Plato ((427-347 SM). Plato mengajarkan
bahwa manusia sebaiknya mencapai “yang baik”, namun hidup “yang baik” tersebut
hanya terdapat didalam polis. Bagi Plato, sejatinya kodrat manusia adalah
makhluk sosial, yang tentu saja makhluk yang berinteraksi didalam polis. Plato menyarankan
untuk selalu bersama agar dapat mencapai kebahagiaan, sebab manusia tidak akan
mencapai kebahagiaan dengan menyendiri.
Berdasarkan
pengalamannya tentang gurunya, Plato kemudian meradikalisasikan pemikirannya
terhadap negara. “Semua negara sekarang ini diperintah secara buruk” kata
Plato. Sama seperti Sokrates, Plato menyarankan bahwa negara harus dipimpin
oleh pemimpin yang berorientasi pada “yang baik”, atau yang dimaksud Plato
adalah filsuf. Jadi, Plato membangun model negara yang baik, yaitu negara
dengan 3 jenis golongan, yaitu ; golongan penjamin nafkah, golongan penjaga dan
para pemimpin. Penjamin nafkah adalah mereka yang memproduksi kebutuhan
manusia, sementara penjaga adalah golongan yang mengawas dan mengatur para
penjamin nafkah agar tidak hanya memikirkan kepentingan pribadinya. Golongan
penjaga ini harus dididik secara intensif dengan kedisiplinan dan
kebijaksanaan, antara lain dengan diajarkan filsafat juga. Para pemimpin
kemudian diambil dari golongan penjaga (yang paling mendalami filsafat), sebab
Plato berpendapat bahwa pemimpin negara yang baik adalah filsuf.
Pemikiran
Plato mengenai negara yang baik mungkin terlalu idealis, karena pada
kenyataannya susah untuk direalisasikan. Filsuf adalah para pecinta
kebijaksanaan, mereka adalah para pemikir. Mungkin alangkah baik jika para
filsuf tersebut kemudian yang mendidik para pemimpin agar dapat mengambil
keputusan dan membuat kebijak yang baik dan benar, atau cara yang termudah
tentu saja adalah menjadikan para filsuf sebagai penasihat pemimpin negara.
Bentuk Negara
Yang Baik
Sementara Aristoteles (427-347 SM), murid Plato, mempunyai ajaran mengenai bentuk negara
yang baik, yang dibedakan menjadi tiga ; monarki, aristokrasi, dan demokrasi (politeia : pemerintahan moderat dengan UUD). Menurut Sokrates, negara yang
baik adalah negara yang mengarah kepada kepentingan umum, bukan kepentingan
pribadi penguasa. Dengan demikian, Aristoteles berpandangan bahwa demokrasi
merupakan yang paling baik, dimana setiap warga negara dapat bergantian
memerintah lewat pemilihan secara periodik sehingga terdapat keseimbangan antara
golongan.
Ajaran
Aristoteles mengenai pemimpin secara tidak langsung tidak jauh berbeda dengan
gurunya. Ketakutannya mengenai penyalahgunaan kewenangan pemimpin negara,
menuntut negara yang dipimpin oleh pemimpin yang baik. Monarki dapat menjadi
tirani, jika pemimpin negara bertindak sewenang-wenang sesuai keinginannya.
Sementara aristokrasi dapat menjadi oligarki, jika kekuasaan hanya ada pada
beberapa orang. Yang paling berbahaya adalah demokrasi tanpa undang-undang,
dimana situasi dan keadaan dapat menjadi kacau. Yang kemudian dapat menimbulkan
anarki (dari kata a=tidak, dan arkhe=prinsip,
asas).
Dengan
penjelasan diatas, kita dapat mengetahui bahwa para pemikir Yunani kuno
mempunyai pandangan sendiri mengenai politik dan negara. Beberapa mungkin tidak
relevan sesuai perkembangan jaman, sementara yang lain tidak praktis atau sulit
diwujudkan. Walau demikian, pemikiran-pemikiran diatas bermaksud untuk
memberikan usulan mengenai pemerintahan dan kenegaraan yang baik. Karena sudah
menjadi sifat kodrati tiap individu untuk hidup bersosial dan memperoleh
kebahagiaan dalam interaksinya dengan masyarakat, maka pemikiran tersebut dapat
menjadi kerangka rujukan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.