POLITIKUS KURANG DEWASA
Menjadi politikus
berarti harus menjadi pribadi yang dewasa. Sikap kedewasaan dituntut mutlak
bagi seseorang yang ingin berkecipung dalam dunia politik. Orang yang berjiwa
politik atau terjun dalam dunia politik disebut politikus. Seorang politikus
harus mampu membawa diri dan menyesuaikan diri dalam situasi apa pun. Seorang politikus
harus mampu melihat realitas secara obyektif dan menafsirkannya secara obyektif
pula. Begitu juga ketika menanggapi suatu peristiwa, seorang politikus
mengutamakan sikap proaktif. Berhadapan dengan lawan politik, seorang politikus
menampilkan persahabatan yang bersahaja, bukan hanya dengan kata, tetapi
tindakan nyata. Seorang politikus menganut prinsip, “Pandangan boleh berbeda,
visi-misi boleh memisahkan. Namun persaudaraan adalah hal mutlak untuk kita
berada bersama dalam satu komunio”.
Apabila seorang
politikus mampu menghidupi nilai-nilai tersebut diatas, maka politikus itu
sudah dan sedang mengalami proses pendewasaan diri. Di Indonesia para politikus
rata-rata belum dewasa dalam hal kepribadiannya. Rambut boleh uban, kepala
boleh gundul, penampilan berwibawa, tetapi hati, mental dan budi masih
kekanak-kanakan. Ada beberapa aspek yang boleh dosoroti dari politikus Indonesia
adalah: tidak bisa membedakan rana privat dan rana publik atau hal yang
sifatnya obyektif dan subyektif. Misalnya, Fadli Zon dan Fahri Hamza mengkritik
pernikahan anak-anak Presiden Joko widodo. Bagi kedua politikus ini, perhelatan
pernikahan ini kurang mencerminkan refolusi mental yang menjadi spirit Pak Joko
Widodo. Bahkan mereka mengatakan pernikahan ini sebagai penghambur-hamburan
kekayaan. Jika kedua politikus ini dewasa, tentu mereka tidak mengatakan
demikain. Sebab pernikahan ini masuk dalam rana privat, presiden atau siapa
saja boleh melakukan ini sejauh dia memiliki kemapuan. Kita boleh kritik jika
pesta tersebut memakai fasilitas negara dan menghambur-hamburkan uang negara.
Para politikus
memakai “kaca mata hitam”. Ini adalah sebuah istilah untuk menggambarkan mental
politikus Indonesia. Sering kali para politikus tidak bijaksana menilai sesuatu
secara obyektif, mereka selalu subyetif. Apabila yang berkuasa adalah lawan
politiknya, maka apa pun yang dibuat oleh lawan mereka itu pasti tidak ada yang
benar. Mengapa hal itu terjadi? Karena mereka telah memaki kaca mata hitam,
maka apa pun yang dipandangnya itu pasti hitam. Seluruh rakyat Indonesia bahkan
dunia mengakui kehebatan Presiden Joko Widodo, tetapi tidak demikan bagi Fadli
Zon dengan Gerindra, Fahri Hamza dan PKS-nya.
Para politikus Indonesia
lebih suka membangun opini untuk bermusuhan baik secara politik, agama maupun
secara pribadi/individu. Para politikus jarang menciptakan kedamaian dan persahabatan
sebagai area bagi anak bangsa untuk belajar politik membangun bangsa. Para politikus lebih suka ciptakan politik intimidasi:
isu agama dan ras menjadi peluru kendali untuk untuk melumpuhkan lawan. Agama
menjadi lahan subur bagi politikus untuk menghunus lawan dan mencaplok
kekuasaan. Nasehat Gusdur “Apabila agama tidak dapat mempersatukan kita, maka
nilai kemanusiaan yang dapat membuat kita bersatu”. Bagi para politikus dewasa
ini nasihat Gusdur tidak berlaku bagi
mereka. Lawan tetaplah musuh dalam seluru aspek kehidupan.