Selasa, 07 November 2017

POLITIKUS

POLITIKUS  KURANG DEWASA

Menjadi politikus berarti harus menjadi pribadi yang dewasa. Sikap kedewasaan dituntut mutlak bagi seseorang yang ingin berkecipung dalam dunia politik. Orang yang berjiwa politik atau terjun dalam dunia politik disebut politikus. Seorang politikus harus mampu membawa diri dan menyesuaikan diri dalam situasi apa pun. Seorang politikus harus mampu melihat realitas secara obyektif dan menafsirkannya secara obyektif pula. Begitu juga ketika menanggapi suatu peristiwa, seorang politikus mengutamakan sikap proaktif. Berhadapan dengan lawan politik, seorang politikus menampilkan persahabatan yang bersahaja, bukan hanya dengan kata, tetapi tindakan nyata. Seorang politikus menganut prinsip, “Pandangan boleh berbeda, visi-misi boleh memisahkan. Namun persaudaraan adalah hal mutlak untuk kita berada bersama dalam satu komunio”.

Apabila seorang politikus mampu menghidupi nilai-nilai tersebut diatas, maka politikus itu sudah dan sedang mengalami proses pendewasaan diri. Di Indonesia para politikus rata-rata belum dewasa dalam hal kepribadiannya. Rambut boleh uban, kepala boleh gundul, penampilan berwibawa, tetapi hati, mental dan budi masih kekanak-kanakan. Ada beberapa aspek yang boleh dosoroti dari politikus Indonesia adalah: tidak bisa membedakan rana privat dan rana publik atau hal yang sifatnya obyektif dan subyektif. Misalnya, Fadli Zon dan Fahri Hamza mengkritik pernikahan anak-anak Presiden Joko widodo. Bagi kedua politikus ini, perhelatan pernikahan ini kurang mencerminkan refolusi mental yang menjadi spirit Pak Joko Widodo. Bahkan mereka mengatakan pernikahan ini sebagai penghambur-hamburan kekayaan. Jika kedua politikus ini dewasa, tentu mereka tidak mengatakan demikain. Sebab pernikahan ini masuk dalam rana privat, presiden atau siapa saja boleh melakukan ini sejauh dia memiliki kemapuan. Kita boleh kritik jika pesta tersebut memakai fasilitas negara dan menghambur-hamburkan uang negara.

Para politikus memakai “kaca mata hitam”. Ini adalah sebuah istilah untuk menggambarkan mental politikus Indonesia. Sering kali para politikus tidak bijaksana menilai sesuatu secara obyektif, mereka selalu subyetif. Apabila yang berkuasa adalah lawan politiknya, maka apa pun yang dibuat oleh lawan mereka itu pasti tidak ada yang benar. Mengapa hal itu terjadi? Karena mereka telah memaki kaca mata hitam, maka apa pun yang dipandangnya itu pasti hitam. Seluruh rakyat Indonesia bahkan dunia mengakui kehebatan Presiden Joko Widodo, tetapi tidak demikan bagi Fadli Zon dengan Gerindra, Fahri Hamza dan PKS-nya.

Para politikus Indonesia lebih suka membangun opini untuk bermusuhan baik secara politik, agama maupun secara pribadi/individu. Para politikus jarang menciptakan kedamaian dan persahabatan sebagai area bagi anak bangsa untuk belajar politik membangun bangsa.  Para politikus lebih suka ciptakan politik intimidasi: isu agama dan ras menjadi peluru kendali untuk untuk melumpuhkan lawan. Agama menjadi lahan subur bagi politikus untuk menghunus lawan dan mencaplok kekuasaan. Nasehat Gusdur “Apabila agama tidak dapat mempersatukan kita, maka nilai kemanusiaan yang dapat membuat kita bersatu”. Bagi para politikus dewasa ini nasihat Gusdur  tidak berlaku bagi mereka. Lawan tetaplah musuh dalam seluru aspek kehidupan.