Apakah Spiritualitas Katolik?
Jika kita mendengar kata
‘spiritualitas’, kita dibawa pada suatu kenyataan bahwa di dalam hidup, manusia
selalu mencari ‘sesuatu di atas dirinya’ sebagai manusia. Hal ini disebabkan
karena kita manusia tidak hanya terdiri dari tubuh saja, melainkan juga jiwa
spiritual, sehingga kita selalu memiliki kecenderungan untuk menemukan jati
diri kita dengan mengenali Sang Pencipta. Seperti halnya ikan salmon yang
mengembara ribuan kilometer dalam hidupnya untuk kembali ke tempat ia
dilahirkan dan mati di tempat asalnya tersebut; demikian halnya dengan manusia.
Sudah selayaknya, kita –yang diciptakan lebih sempurna dari ikan salmon-
menyadari, bahwa kita berasal dari Tuhan dan suatu saat akan kembali kepada
Tuhan. Maka, di dalam hidup, kita akan berusaha untuk mengenal diri sendiri dan
Tuhan, dan di sinilah spiritualitas berperan dalam kehidupan kita.
Tuhanlah yang memberi makna hidup
Dalam kehidupan sehari-hari kita
dapat melihat, bahkan mengalami pergumulan untuk pencarian jati diri, yang
lebih umum dikenal dengan pencarian makna hidup, atau singkat kata,
kebahagiaan. Dan karena asal dan akhir manusia adalah Tuhan, maka tidak
mengherankan bahwa di dalam pergumulan ini, banyak orang mengalami seperti yang
dikatakan oleh Santo Agustinus, “Hatiku tak pernah merasa damai sampai aku
beristirahat di dalam Engkau, ya Tuhan.” Tuhanlah sumber kebahagiaan kita dan
Dia-lah yang memberi arti dan maksud dari hidup ini. Maka, hanya jika kita
sampai kepada Tuhan, barulah kita menemukan damai dan pemenuhan makna hidup.
Kesaksian dari banyak orang membuktikan hal ini: ada banyak orang yang secara
materiil tak kurang sesuatu apapun, tetapi tidak bahagia, sementara ada
orang-orang lain yang hidup sederhana tetapi dapat sungguh berbahagia dan
menikmati hidup. Pertanyaannya, kenapa demikian?
Dapat dimengerti, spiritualitaslah
yang membedakan kedua kelompok ini. Spiritualitas di sini mengacu pada nilai-
nilai religius yang mengarahkan tindakan seseorang.[1] Jika nilai- nilai yang dipegang
tidak mengarah pada Tuhan, kebahagiaan yang dicapai adalah ‘semu’ sedangkan
jika nilai-nilai itu mengarah pada Tuhan, kebahagiaan yang diperoleh adalah
kebahagiaan sejati. Meskipun spiritualitas ini tidak terbatas pada agama
tertentu, namun, kita bisa memahami, bahwa spiritualitas mengarah pada Tuhan
Sang Pencipta, karena semua manusia diciptakan oleh Tuhan yang satu dan sama,
dan karena hanya di dalam Tuhanlah kita mendapatkan jawaban atas segala
pertanyaan di dalam kehidupan ini.
Spiritualitas
Kristiani adalah Spiritualitas Tritunggal Maha Kudus yang berpusat pada Kristus
Sebagai umat Kristiani, kita
percaya bahwa Tuhan telah menyatakan diri-Nya di dalam diri Yesus Kristus
PuteraNya[2] oleh kuasa Roh Kudus-Nya. Oleh
karena itu, spiritualitas Kristen bersumber pada Allah Tritunggal Maha
Kudus, yang berpusat kepada Kristus, Penyelamat kita,[3] karena hanya di dalam nama
Kristus kita diselamatkan (Kis 4:12). Allah Bapa telah menciptakan kita sesuai
dengan gambaran-Nya; dan menginginkan agar kita selalu tinggal di dalam
kasihNya yang tak terhingga sebagaimana ditunjukkan oleh Kristus dengan wafat
dan kebangkitanNya, untuk menghapus dosa-dosa kita (1 Yoh 4:10). Oleh Kristus,
kita angkat kita menjadi anak-anak Allah (Rom 8:15). dan dipersatukan dengan Tuhan
sendiri; Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus.
Jadi, ‘komuni’ atau persatuan
kudus kita dengan Allah Tritunggal adalah tujuan hidup kita. Sekarang
masalahnya adalah, apakah kalau kita percaya kepada Tuhan, otomatis kita pasti
bisa bersatu dengan Dia? Pertama-tama kita harus menyadari, bahwa persatuan
dengan Tuhan yang membawa kita pada keselamatan adalah suatu karunia; itu
adalah pemberian, bukan karena usaha manusia (Ef 2:8). Karunia keselamatan
tersebut diberikan oleh Kristus melalui wafatNya di salib, kebangkitanNya dan
kenaikanNya ke surga. Misteri ini-lah yang sampai sekarang selalu dihadirkan
kembali oleh Gereja Katolik, melalui sakramen sakramennya, terutama Sakramen
Ekaristi,[4] di mana kita dipersatukan dengan
Tubuh dan Darah Kristus, Jiwa dan Ke–ilahianNya. Persatuan atau komuni kudus
ini adalah cara yang dipilih Allah untuk mengangkat kita menjadi serupa dengan
Dia. Untuk maksud persatuan kudus inilah, Kristus mendirikan Gereja Katolik
untuk melanjutkan karya Keselamatan-Nya kepada dunia sampai kepada akhir zaman.
Dalam hal persatuan dengan Tuhan
melalui misteri Keselamatan inilah, iman mengambil peranan penting. Iman di
sini bukan berarti kepercayaan subjektif bahwa pasti kita diampuni sehingga
kita tidak perlu melakukan sesuatu apapun sebagai konsekuensi, melainkan iman
yang objektif, yang diawali dengan pertobatan sejati dan diikuti dengan
proses memperbaiki diri, yaitu suatu perjuangan untuk semakin menjadikan
diri kita semakin mirip dengan Tuhan yang menciptakan kita. Dalam hal ini, iman
yang dimaksud adalah ketaatan iman (Rom 16:26; 1: 5) yang diberikan kepada
Allah yaitu dengan cara mempersembahkan ketaatan kita secara penuh yang
mencakup kehendak dan akal budi, dan dengan mematuhi dan menyetujui segala
kebenaran yang dinyatakan oleh Tuhan kepada kita.[5] Kebenaran yang dinyatakan oleh
Kristus dilanjutkan oleh Gereja-Nya, Gereja Katolik, sehingga ketaatan total
kepada Tuhan membawa kita kepada ketaatan kepada kepada Gereja. Taat di sini
tidak saja mencakup taat kepada Firman Tuhan yang tertera pada kitab suci,
tetapi juga kepada Gereja-Nya, karena keduanya sejalan dan tidak dapat dipisahkan.
Spiritualitas
Katolik adalah spiritualitas yang otentik
Sebagai orang Katolik, kita percaya
bahwa spiritualitas yang dinyatakan oleh Kristus adalah spiritualitas yang
otentik, meskipun Gereja Katolik tidak menolak apa yang benar dan kudus
yang dinyatakan oleh agama-agama lain.[6] Dikatakan otentik karena
spiritualitas ini berasal dari Tuhan sendiri, yang kini berada di dalam Gereja
Katolik yang dipimpin oleh penerus Rasul Petrus dan para uskup pembantunya,
meskipun ada banyak unsur pengudusan dan kebenaran ditemukan di luar struktur
Gereja Katolik.[7] Berakar dari Firman Tuhan dan
ajaran Gereja inilah, kita mengetahui bahwa panggilan hidup kita sebagai
manusia adalah agar kita hidup kudus dan mengasihi, karena Allah itu Kudus dan
Kasih (Im 19:2, 1Yoh 4:16). Di sini kekudusan berkaitan erat dengan memegang
dan melakukan perintah Tuhan[8], yang adalah perintah untuk mengasihi Tuhan dan sesama (Mat 22:37-39; Mrk
12:30-31) (Lihat artikel: Bagaimana caranya untuk hidup kudus?). Hanya dengan cara ini, maka kita dapat bertumbuh untuk menjadi ‘serupa’
dengan Allah, dan dikuduskan oleh Allah. Panggilan hidup kudus adalah panggilan
bagi semua orang Kristen, bahkan panggilan untuk semua orang, karena kita semua
diciptakan oleh Tuhan yang satu dan sama. Jadi kekudusan bukan monopoli
kelompok para pastor, suster dan religius lainnya tetapi harus menjadi tujuan
bagi kita semua.
Konsili Vatikan II menyerukan pada
semua orang panggilan untuk hidup kudus. Siapapun kita, dalam kondisi yang
berbeda satu dengan lainnya, dipanggil Tuhan untuk menjadi kudus, sebab Allah
sendiri adalah Kudus.[9] Jadi panggilan ini berasal dari
Allah yang satu, dan berlaku untuk semua orang, karena Allah menciptakan semua
orang di dalam kesatuan, dan menginginkan kesatuan itu kembali di dalam
diriNya, yang berlandaskan kasih. Maka nyatalah bahwa Spiritualitas Katolik
mengarah kepada kekudusan dan kasih di dalam kesatuan yang universal, yaitu
yang merangkul semua orang kepada persatuan di dalam Tuhan. Persatuan ini
adalah kesempurnaan dari hidup Kristiani, yang dihasilkan dari penerapan
pengajaran Tuhan di dalam kehidupan sehari- hari.[10] Jadi spiritualitas yang otentik
haruslah diikuti oleh penerapan di dalam perbuatan, sebab jika tidak,
spiritualitas menjadi hanya sebatas teori.
Ciri-ciri Spiritualitas Katolik
Dengan demikian, ciri-ciri dari
Spiritualitas Katolik adalah[11]:
- Berpusat pada Kristus. Kristuslah yang menciptakan hidup spiritual,
sebab di dalam Dia, Tuhan menyatakan diriNya oleh kuasa Roh Kudus. Oleh
karena itu spiritualitas tergantung dari semua pengajaran Kristus.
- Melalui Kristus menuju kesatuan dengan Allah
Tritunggal. Karena Kristus adalah Pribadi kedua di dalam kesatuan
Tritunggal Maha Kudus, maka jika kita bersatu dengan Kristus, maka kita
akan bersatu dengan Allah Tritunggal.
- Keikutsertaan di dalam misteri Paska Kristus (salib, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga),
melalui rahmat Tuhan, iman, kasih, dan nilai-nilai Kristiani lainnya.
Singkatnya, Spiritualitas Katolik tak terlepas dari Salib Kristus,[12] penderitaan dan kesadaran diri akan dosa- dosa
kita yang membawa kita pada kebangkitan di dalam Dia. Karena misi
Keselamatan Kristus diperoleh melalui Salib, maka sebagai pengikutNya,
kita-pun selayaknya mengambil bagian dalam penderitaan itu, terutama
dengan kesediaan untuk terus-menerus bertobat dan mau menanggung
penderitaan demi keselamatan sesama, dan dengan demikian kita dapat
mengambil bagian di dalam kemuliaan-Nya. Jika kita hanya mau mengambil
bagian dalam ‘kemuliaan’ tanpa mau mengambil bagian dalam ‘penderitaan’
–yang dizinkan oleh Tuhan untuk terjadi di dalam hidup kita- maka kita
tidak menerapkan Injil dengan seutuhnya.
- Berdasarkan kesaksian akan Kasih Tuhan. Kitab Suci bukan hanya wahyu Tuhan, tapi juga
pernyataan akan pengalaman manusia di dalam wahyu Tuhan itu. Apa yang
dialami oleh Adam dan Hawa, Nabi Abraham, Ayub, Bunda Maria, Rasul Petrus
dan Paulus, dapat dialami oleh kita semua.
- Disertai kesadaran akan dosa dan belas kasihan
Tuhan. Spiritualitas Katolik berlandaskan atas keyakinan akan Kasih
Tuhan di atas segalanya yang mampu mengubah segala sesuatu. Pada saat
Tuhan mengasihi kita, dan jika kita membuang segala dosa yang menghalangi
kita untuk menerima kasih-Nya, dan dengan iman dan doa, maka kita dapat
sungguh diubah, dikuduskan dan dimampukan berbuat baik.
- Mengarah pada kehidupan kekal yang dijanjikan oleh Allah.
- Melihat Bunda Maria sebagai contoh teladan.
Spiritualitas Katolik menerima segala kebijaksanaan Tuhan yang selalu
menggunakan peran pengantara, yaitu Musa, para nabi, Yohanes Pembaptis,
dan terutama Bunda Maria untuk menyelenggarakan karya keselamatan-Nya.
Karya Tuhan yang ajaib juga nampak dalam mukjizat keperawanan Maria dan melalui
ketaatan dan kesediaan Maria, Allah menganugerahkan rahmat yang tiada
batasnya, yaitu kelahiran Yesus Kristus, Penyelamat kita di dunia.
- Mangacu pada Gereja-Nya, Gereja Katolik. Gereja merupakan sumber atau alat yang
meneruskan rahmat Tuhan. Rahmat Tuhan ini kita peroleh melalui
sakramen-sakramen terutama Ekaristi; dan juga melalui ketaatan kita pada
para penerus Rasul Kristus yang telah dipilih oleh- Nya. Gereja sebagai
kesatuan (komuni) manusia dengan Tuhan, selalu memperjuangkan martabat
manusia, dan memperhatikan kesatuannya dengan para orang kudus; sebab
melalui kesatuan ini Allah dimuliakan.
Dengan melihat ciri-ciri di atas,
kita dapat menyimpulkan bahwa tujuan akhir Spiritualitas Katolik adalah
kemuliaan Tuhan, yang diwujudkan oleh kasih kepada Tuhan dan sesama. Untuk
mencapai hal ini, bukan kesuksesan yang menjadi tolok ukurnya melainkan
kesetiaan untuk bergantung pada Kristus, sebab tanpa Dia kita tidak bisa
berbuah (bdk. Yoh 15:15). Bentuk wujud kesatuan dengan Kristus yang paling nyata
di dunia ini adalah melalui Ekaristi kudus, di mana kita menyambut Tubuh dan
Darah, Jiwa dan ke-Ilahian Kristus, sehingga olehNya kita dipersatukan dengan
Allah Tritunggal. Oleh karena itu, Spiritulitas Katolik selalu berpusat dan
bersumber pada Ekaristi, yang adalah Allah sendiri,[13] karena kekudusan adalah karunia
yang diberikan oleh Tuhan. Melalui Ekaristi, kita tinggal di dalam Kristus dan
dimampukan untuk mengikuti teladan-Nya, sehingga dapat berjalan menuju
kekudusan, yaitu persekutuan dengan Allah, yang menjadi sumber kebahagiaan
kita. Di sinilah kebahagiaan kita sebagai manusia menjadi juga kemuliaan bagi
Allah, karena Allah menciptakan kita agar kita berbahagia bersama-Nya!
CATATAN KAKI:
- Lihat Jordan Aumann, Spiritual Theology, Spiritual
Theology, (Continuum, London, reprint 2006, first published in 1980),
p17, “…spirituality refers to any religious or ethical value that is
concretized as an attitude or spirit from which one’s actions flow.” [↩]
- Kristus dan Allah Bapa adalah satu (Yoh 10: 30;
14: 9-11). [↩]
- Paus Yohanes Paulus II, dalam Redemptoris
Hominis (Penyelamat Manusia), Surat Ensiklikal, 7, menulis, “Jiwa kita
diarahkan pada satu arah, pada satu-satunya arah akal budi, kehendak dan
hati – menuju Kristus Penyelamat kita, menuju Kristus, Sang Penyelamat
manusia. Kita berusaha untuk mengarahkan pandangan kita kepada Dia- sebab
tidak ada keselamatan di dalam siapapun selain dari Dia, Sang Putera
Allah…” Our spirit is set in one direction, the only direction for our
intellect, will and heart is – toward Christ our Redeemer, towards Christ,
the Redeemer of man. We wish to look towards Him – because there is no
salvation in no one else but Him, the Son of God…” [↩]
- Lihat Katekismus Gereja Katolik, 1085, dan 1362,
“Ekaristi adalah kenangan akan Paska Kristus yang menghadirkan dan
mempersembahkan secara sakramental kurban satu-satunya dalam liturgi
Tubuh-Nya yaitu Gereja.” [↩]
- Dei Verbum, Dokumen Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi 5,
“Kepada Allah yang menyampaikan wahyu manusia wajib menyatakan “ketaatan
iman” (Rom16:26 ;lih. Rom1:5 ; 2Cor10:5-6). Demikianlah manusia dengan
bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan
“kepatuhan akalbudi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang
mewahyukan”, dan dengan secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu
yang dikurniakan oleh-Nya.” [↩]
- Lihat Nostra Aetate 2, Dokumen Vatikan II,
Dokumen Vatikan II, Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama
bukan Kristiani, “Gereja katolik tidak menolak apapun, yang dalam
agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus
Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta
ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini
dan diajarkannya sendiri, Tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar
kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada hentinya
mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan
hidup” (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan,
dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya.” [↩]
- Lihat Lumen Gentium 8, Dokumen Vatikan II,
Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, “Sesudah kebangkitan-Nya Penebus kita
menyerahkan Gereja kepada Petrus untuk digembalakan (lih. Yoh 21:17). Ia
mempercayakannya kepada Petrus dan para rasul lainnya untuk diperluaskan
dan dibimbing (lih. Mat 28:18 dsl), dan mendirikannya untuk selama-lamanya
sebagai “tiang penopang dan dasar kebenaran” (lih. 1Tim 3:15). Gereja itu,
yang didunia ini disusun dan diatur sebagai serikat, berada dalam Gereja
katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam
persekutuan dengannya[[13]], walaupun diluar persekutuan itupun terdapat
banyak unsur pengudusan dan kebenaran, yang merupakan karunia-karunia khas
bagi Gereja Kristus dan mendorong ke arah kesatuan katolik. [↩]
- Lihat Im 20:7-8, “Maka kamu harus menguduskan
dirimu, dan kuduslah kamu sebab Akulah Tuhan Allahmu. Demikianlah kamu
harus berpegang pada ketetapan-Ku dan melakukannya; Akulah Tuhan yang
menguduskan kamu” [↩]
- Lumen Gentium 40, Dokumen Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, “…semua
orang kristiani, bagaimanapun status atau corak hidup mereka, dipanggil
untuk mencapai kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan cinta kasih.” [↩]
- Lihat Jordan Aumann, Spiritual Theology,
(Continuum, London, reprint 2006, first published in 1980), p25, 23. ”Spiritual
theology reflects precisely on the mystery of our participation in divine
life….Spiritual theology …is not a pure speculative science but also a
practical and applied theology.” [↩]
- Diterjemahkan dan disederhanakan dari tulisan
Douglas G. Bushman, S.T.L., Foundation of Catholic Spirituality,
Institute for Pastoral Theology, Ave Maria University, 2006, p. 35-37. [↩]
- Hal ini sangat nyata dalam pengajaran Rasul
Paulus, “Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengatahui apa-apa di
antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan.”(1 Kor 2:2).
[↩]
- Lihat Katekismus Gereja Katolik, dan Lumen
Gentium 11, “Ekaristi adalah ‘sumber dan puncak seluruh hidup
kristiani.” [↩]